Selasa, Januari 15, 2013

Penulis munafik

Mungkin kalian telah mengenal aku, tentunya kalau kalian juga seorang penulis. Menulis adalah jiwaku. Seperti darah yang selalu mengalir, maka tulisanku pun tak pernah berhenti mengalir. Entah kenapa, seperti ada sebongkah batu besar yang selalu ingin ku keluarkan berwujud tulisan. Apapun yang ingin ku tulis, maka sesegera mungkin ujung penaku atau ujung jariku menekan tuts keyboard mengeksekusinya, karena apabila terlalu lama, maka apa yang ingin aku tulis tadi buyar, perlu waktu dan keadaan tertentu untuk menatanya kembali. 

Sesuatu hal yang ingin ku ketahui misalnya, maka jika aku telah menemukan jawabannya, bersama itu pula ku sampaikan melalui tulisanku, walau sekedar copy paste dan edit seadanya. Aku ingin apa yang telah ku ketahui, juga diketahui oleh orang lain. Karena itu, tulisanku sebagian besar ku sampaikan melalui blog ku, website penyedia kiriman artikel anggotanya dan media cetak. Aku sangat senang jika banyak yang mengomentari tulisanku, karena berarti tulisanku telah dibaca. Akupun berusaha agar tulisanku terlihat menarik, sehingga pembaca setia tulisanku selalu penasaran dan selalu ingin membacanya hingga akhir tulisan. 

Oh, ya, mungkin kalian ada yang belum tahu nama lengkap atau nama asliku, karena dalam setiap tulisanku biasanya nama penaku "Dianara" atau inisialku "ATH" yang kucantumkan. Aku terlahir dengan nama Ardian Trisna Hanggara. Entah berapa banyak hasil karyaku, begitu banyak untuk ku hitung. Mulai dari cerpen, puisi, opini dari masalah sosial dan tulisan tentang kisah hidupku. Beberapa darinya ada yang diterbitkan berbentuk buku. Walau hanya kumpulan cerpen bersama dengan penulis lain, tetapi itu cukup membuatku senang. 

Senang? Sebenarnya tidak juga, karena ada sesuatu perasaan yang mengganjalnya. Begitu banyak artikel, opini yang kutulis, tetapi apakah pesan yang ingin kusampaikan dalam tulisan tersebut ku realisasikan dalam kehidupanku? Aku menulis tentang korupsi dan gratifikasi, tetapi pada suatu keadaan, aku memberikan uang damai kepada aparat yang sempat menilangku ketika aku bermotor tidak memakai helm. Aku menulis tentang kotornya negeriku, sampah berserakan, malu dengan masyarakat yang tidak berbudaya hidup bersih, sedangkan aku merokok dan membuang puntungnya sembarangan. Aku juga menulis cerpen keluarga tentang kasih sayang dan pengorbanan seorang ayah kepada anak semata wayangnya yang mengidap penyakit leukimia. Begitu sabar dan tegarnya ia menemani anaknya hingga akhir hayatnya. Tentu tidak sama halnya dengan aku sebagai bapak yang terkadang berlaku kasar kepada anakku, tidak sabar dan jauh dari pesan yang ingin kusampaikan pada cerpen itu, yaitu seorang ayah yang dapat menjadi panutan. 

Lalu, apakah aku sebagai penulis yang munafik? Entahlah... Aku paham benar ilmu menulis, sehingga tulisanku selalu menjadi menarik. Tetapi aku masih perlu waktu untuk belajar menata hidupku agar menjadi penulis dengan jati diri yang baik. Untuk kali ini biarlah pesan-pesan selalu kusampaikan di dalam tulisanku, karena aku sebagai penulis munafik berharap pembaca tulisanku bersama belajar bersamaku menuju kehidupan yang lebih baik.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar