Kamis, Februari 21, 2013

Bidadari Langit


Aku merebahkan diri di rerumputan empuk, di bawah pohon rindang berbuah lebat, berwarna merah muda. Mata jernihku begitu riang melompat-lompat pandang dari satu buah ke buah lainnya, dari satu tangkai bunga ke bunga lainnya. Bentuk dan warna mahkotanya begitu serasi. Jari-jari tanganku berangkul membentuk bantal menahan kepalaku.
Alamku kini begitu indah dan wangi, terlebih di taman ini. Kuhirup napas dalam dan perlahan. Tanpa perintah, kelopak mataku kini merapat, tidak mau ketinggalan menikmati aroma mewangi merasuk mulai dari lubang hidung, tenggorokan, dada hingga paru-paru. Kelelahanku terbayar sudah, selepas bermain dengan teman sebayaku. Aku sangat senang bermain berlama-lama dengan mereka. Mereka teman yang baik dan juga memiliki paras yang apik, sama sepertiku. Jika kami semua berkumpul, terlihat seperti playgroup atau taman kanak-kanak.
Kalau diusiakan, aku berumur sekitar empat tahun, mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-temanku, karena tinggi badan kami yang hampir sama.
Aku juga selalu bahagia menetap di alamku kini. Semua yang kuinginkan selalu tersedia. Jika aku lapar, maka tangkai-tangkai pepohonan akan merunduk mempersembahkan buahnya untuk kumakan. Sesudahnya aku akan meraup aliran air susu yang mengalir di bawahnya dan meminumnya. Walaupun bermain seharian, makan dan minum seenaknya, tetapi aku tidak pernah terserang penyakit, fisikku selalu segar bugar.

***

Udara di sini begitu sejuk tetapi tetap hangat. Angin bermain bersama burung-burung yang berjingkrak di ranting pepohonan, membawa beberapa helai masa laluku dan merajutnya bersama mimpi-mimpiku dan cerita teman bermainku.
Yah, aku ingat kalau aku pernah merasa kesakitan yang mendalam lalu pandanganku menjadi gelap, hingga aku dibangunkan kembali. Aku bak roda berputar di sebuah pabrik, melewati beberapa proses, sampai akhirnya aku di tempatkan di alam yang indah sekarang.
Rajutan ingatanku kini mulai sempurna. Aku memiliki ayah dan ibu yang kuanggap tidak sepenuhnya menyayangiku. Mereka lebih mementingkan karir dan pekerjaannya dibanding mengurusiku. Lama-lama aku bosan bersama perempuan yang biasa kupanggil bibi. Dia juga selalu tidak sabar dan sering memarahiku.
Tetapi pagi itu aku gembira, karena kali ini bibi baik mengajakku ke pusat perbelanjaan. Aku senang melihat barang-barang baru dipajang. Semua bisa kusentuh dan kucium. Dan biasanya ada beberapa yang diperbolehkan bibi untuk kubawa pulang. Aku juga sangat senang menaiki eskalator, karena pada saat itu tubuhku akan dibawanya bergerak naik atau turun. Sampai suatu saat bibi kulihat sumringah dan senyum-senyum dikulum ketika ada lelaki bersamanya. Jelasnya aku tidak tertarik di sisi bibi. Aku melongo, pandanganku tertuju pada balon warna-warni, berlenggak-lenggok. Tanpa sadar aku sudah berada di sisi pagar pembatas lantai tiga. Dari sini jelas kulihat ratusan balon warna-warni lurus dengan arah pandangku. Sekilas kulihat talinya erat mengikat di lantai dasar. Sekejap keinginanku memuncak memilikinya, nantinya dapat kusombongkan dengan Nina, teman bermainku. Tanganku berusaha meraihnya dan kakiku memanjat naik pagar pembatas. Jemari tangan kananku terasa semakin dekat dengan balon warna-warni. Pikirku hanya riangnya Nina nanti melihat balonku. Sampai aku terkaget, kakiku terpeleset. Aku terjun. Kepalaku terasa begitu sakit membentur lantai, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Lain lagi apa yang dikisahkan Theresia beberapa waktu lalu kepada kami. Entah kenapa pada suatu malam ibunya mengikat erat tangannya lalu menutup mulutnya dengan lakban. Theresia melihat kedua adiknya juga diperlakukan sama dengannya.
“Kami meronta dan berteriak sebisanya. Kemudian ibuku menyirami dirinya dan kami dengan air beraroma khas”, sambung Theresia cadel bercerita.
“Ibuku lalu menyulutkan api dan sekejap api mulai menyantap tubuh kami. Kami meronta kepanasan. Aku menggeleparkan tubuhku, sungguh begitu pedihnya daging masak terpanggang, sampai akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi,”
Kami semua mendengar kisah Theresia dengan seksama dan bersedih, tetapi tidak satupun diantara kami yang menitikkan air mata dan bibir kami masih manis tersenyum.

***

Teman lelakiku Anton dan duduk di pojok. Warna kulitnya lebih coklat, namun tetap terlihat manis, ikut membagi dukanya pada saat di alam fana.
Anton anak yang selalu gembira. Ia tidak pernah bersekolah. Ia anak yang bebas. Bermain di jalanan, berlari di tumpukan sampah. Ia tidak pernah memikirkan apakah ia kenyang atau lapar. Tidak perlu repot dengan rutinitas yang mengharuskannya makan di waktu pagi, siang dan malam, yang penting ia bisa bebas bermain seharian.
“Suatu saat ayahku menitipkanku pada seorang lelaki asing. Ayahku meninggalkanku setelah menerima beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari laki-laki itu,” Anton bertutur dihiasi lesung pipinya.
“Esoknya aku dipaksa kerja rodi, mengemis, ngamen atau pekerjaan jalanan lain, dan uangnya harus diserahkan kepada laki-laki tersebut. Aku tidak perduli, aku hidup dan tinggal dengan siapa, ayahku atau bukan, tetapi aku bersedih jika hak bermainku direnggut. Sampai pada suatu sore, ketika aku menyelesaikan jam istirahatku di sebuah gubuk kardus. Setengah sadar aku merasa ada yang menarik celanaku hingga ke betis, lalu aku merasakan sesuatu di selangkanganku menuju anus. Kesadaranku penuh dan bergegas menepis dan membenahi kembali pakaianku. Dengan tangkas lelaki teman ayahku yang sedari tadi menemaniku tidur berusaha menahanku beranjak. Sekuat tenaga aku meronta dan berlari keluar. Jatuh bangun, aku terus berlari sekencang mungkin. Lalu telingaku sayup mendengar suara klakson, dan, brukk...” telapak tangan Anton bergerak memukul keningnya sendiri.
“Benda keras menghantam tubuhku dengan cepat. Aku kesakitan, kepalaku sangat pusing dan pandanganku menjadi gelap.”

***

“Sekarang giliranku bercerita,” pekik gadis imut dan cantik dengan rambut lebat sebahu membuyar khusuk kami.
Ia duduk tepat di samping kananku waktu itu. Aku ingat pada saat ia mulai bercerita, angin sejuk meniup aroma wangi bunga mengusap wajah kami yang putih bersih. Namanya Nurida. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Ida. Sejak umur dua tahun ia sudah ditinggal ibunya. Bapaknya bilang kalau ibunya merantau ke negeri orang, cari uang untuk beli susu Ida. Ida selalu berharap ibunya cepat kembali. Lama kelamaan ia tidak yakin akan harapannya, karena sudah empat tahun berlalu tidak ada kabar dari ibunya.
Bagaimana dengan ayahnya? Yang ia tahu, sejak setahun kepergian ibu, ada beberapa perempuan sering menginap bersama bapak di rumahnya.
“Perempuan-perempuan itulah yang menjadi tumpuan kasih sayang bapak dibanding aku,” ujarnya.
“Untung ada bibi saudara ibuku yang kerap menemaniku, tetapi tidak di malam hari. Engkau tahu kawan, apa yang menjadikanku ada di sini, dapat berkumpul bersama kalian?” begitu sambungnya.
“Sewaktu umurku belum tujuh tahun, ketika suatu saat bapakku dengan ganas menelanjangiku dan menyekap mulutku dengan kekar tangannya. Aku meronta semampuku, tetapi tenaga iblis itu lebih kuat dibandingkan aku. Aku menendang, meninju, menjerit. Lalu aku merasakan sesuatu menusuk kemaluanku. Pedih, sakit, tak tertahankan. Aku menangis, menahan sakit. Bapak tidak mau mengasihiku, malah ia mengancam aku agar tidak melaporkan kepada siapapun atas kelakukan bejat bapakku itu. Hingga akhirnya aku jatuh sakit, karena berkali-kali setan bapak memaksa aku kembali ‘bermain’ dengannya. Di dalam kamar rawat sebuah rumah sakit, akhirnya aku berpisah dengan jasadku.”
Kami semua bengong. Tatapan kami kosong, melotot, menatap Ida.

***

Hewan-hewan bersayap masih saja riang menyanyikan lagu-lagu pantun saling bersahutan. Beberapa helai daun turun manari-nari di hembus angin sepoi sampai ke tanah.
Jika gelap merambat masuk, kami akan melanjutkan mendengar kisah teman-teman lain esok harinya. Begitu banyak ingin aku sampaikan cerita temanku itu. Ada Shasha yang diajak ibunya melompat ke sungai yang deras, dari atas jembatan. Beda lagi cerita Arif. Akibat tetangganya bermusuhan dengan bapaknya, malah si Arif yang dihabisi nyawanya. Ia dipisahkan dari ruhnya dengan dipukul martil dan dibanting-banting, lalu saat meregang nyawa dengan biadabnya tetangganya mengubur Arif.
Sungguh aku tidak dapat mengisahkan kembali cerita duka teman-temanku. Begitu banyak yang aku dengar dan aku coba ingat. Dan setiap kali kami berkumpul, aku selalu menemukan wajah-wajah baru. Lama kelamaan aku kesulitan juga menghitungnya, menentukan berapa jumlahnya. Tetapi yang dapat aku pastikan dan kusampaikan kepada kalian, mereka berwajah berseri-seri dan beraroma wangi. Dan mengapa suara kami selalu parau ketika melantunkan ucapan “Ayah, ibu, tolong jaga kami...”

Rabu, Februari 13, 2013

BUKAN NEGERI PARA DEWA



Alkisah di suatu negara jelata, di sebuah perusahaan ternama. Datang seorang lelaki, berpakaian rapi, berumur sekitar empat puluhan tahun ke Kantor Pusat perusahaan tersebut, niatnya ingin menemui Kepala Bagian Es De Em. Ia sudah berada di ruangan tersebut sejak pukul tujuh tiga puluh menit sedangkan jam masuk kantor pukul delapan tepat, sehingga dengan sabar ia harus menunggu.
Ia memandang menyusuri setiap sisi ruangan, satu-satu ia amati, orang berbicara di telepon, kalender, secangkir teh, orang hilir mudik, berkas yang menumpuk, jam dinding. Kepalanya berputar-putar selaras dengan pandangan matanya. Sebenarnya ia sangat tidak peduli dengan apa yang dilihatnya di ruangan tersebut. Di dalam rak kepalanya berantakan sekian banyak masalah dan masih samar-samar terdengar saran sang istri yang menhantarkannya hingga ke ruangan tersebut.
“Coba saja dulu, pak, kali aja bapak-bapak yang di atas ada kebijakan.”
“Ada kebijakan gimana, bu, la wong aturannya sudah jelas, ibu kan juga sudah tahu. Bapak kerja di ‘Bhakti Penuh’, ya harus terima segala konsekuensinya, termasuk bersedia ditempatkan di mana saja di negeri ini.”
“Tapi, itu kok, Si Panjul bisa balik lagi ke sini, Si Pe’ah juga, enak bener...”
“Ya, kebetulan saja, nasibnya baik, tapi entar juga dipindah lagi. Sudahlah, ibu sabar saja dan selalu berdoa, semoga Yang Kuasa memberikan yang terbaik untuk bapak, untuk keluarga kita.”
Awalnya lelaki setengah baya tersebut tidak begitu menghiraukan perkataan istrinya, karena kalau dibandingkan dengan beberapa pegawai lain ada yang jarak antara tempatnya bekerja dan rumah tempat tinggal lebih jauh darinya, walaupun banyak juga yang lebih dekat. Sampai suatu saat ketiga anaknya jatuh sakit, istrinya kepayahan mengurusinya, belum lagi kondisi si istri yang hamil tua, calon anak yang keempat. Puncaknya beberapa hari kemudian lelaki tersebut menerima surat keputusan pindah ke Wilayah Ujung Bumi, sehingga perjalanan yang harus ditempuh bertambah sekitar delapan jam lagi. Istrinya semakin hilang kesabaran dan pertengkaran diantara keduanya pun menjadi sering terjadi. Kondisi inilah yang memaksa lelaki tersebut memberanikan diri mendobrak aturan, menerjang prinsip dan konsistensi yang sekian lama ia junjung tinggi.
Sebenarnya ia malu dan benar-benar merasa bersalah berada di ruangan tersebut. Entah bagaimana nanti Bapak Kabag Es De Em mencacinya, tidak taat aturanlah, tidak memiliki integritaslah..., yang jelas apapun ocehan dan keputusan dari beliau nanti akan ia terima dan disampaikan kepada istri tercintanya yang menunggu di rumah, pikirnya.

“Selamat pagi, pak!”
Lelaki tersebut kaget tersadar dari renungannya, sambil menyambut jabatan tangan lelaki gemuk di depannya.
“Ee, pa pa gi, pak!”
“Pak siapa?”
“Jujur Setiadi, Pak!
Gimana, ada yang bisa saya bantu...” sambil mengeluarkan sebatang rokok dari kemasannya, sejurus kemudian asap sudah mengepul membias slogan bertuliskan “Terima Kasih Anda Tidak Merokok Di Ruangan Ini” yang menempel di tembok belakang kursinya.
“Maaf, pak, sebelumnya, saya sudah tahu aturan tentang perpindahan pegawai di perusahaan ini, maaf saya lancang, tetapi...”
“Kenapa, bapak ingin usul pindah ke tempat tinggal, satu kota dengan orang tua atau tempat kelahiran?”
“Ee, iya, pak, usul pindah sesuai tempat tinggal, pak!”
“Yang keputusan kemarin, bapak kena?”
“Ya, pak,”
“Nah, lo..., dari mana ke mana?”
“Dari Kota Rantau Jauh ke Wilayah Ujung Bumi, pak.”
“Tempat tinggal sampeyan, dimana?”
“Di Kota Hidup Damai, pak.”
“Waduuh..., kenapa sampeyan gak usul kemari dari kemarin-kemarin, sebelum keputusan pindah keluar?” menghisap dalam rokok yang kini diapitnya diantara jari lalu dihembuskan perlahan.
Tersentak, kaget, lalu berkata.
“Maaf, pak, bukannya aturan tentang hal tersebut di perusahaan kita sudah jelas,”
“Pak Jujur..., Pak Jujur..., aturankan dibuat untuk dilanggar dan tidak saklek sifatnya, masih bisa dinegosiasikan, kaya’ sampeyan gak tahu aja...”
“Maaf, pak, saya benar-benar tidak tahu akan hal tersebut,” terdiam sebentar, lalu melanjutkan,
“Berarti, termasuk Pak Panjul dan Pak Pe’ah juga, mereka datang ke sini menemui bapak?”
“Lah, iya..., yang sekarang di Hidup Damai kan?”
Sedikit bingung, diiakannya dengan mengangguk.
“Pak Jujur kemana aja, sih? Kita ini di negeri jelata, pak, bukan di negeri kayangan tempat tinggal para dewa...”
“Pak Jujur datanglah kemari, utarakan keluhan bapak, ya..., sambil bawa buah tanganlah, biar terlihat sopan dan akrab,”
“Buah tangan, oleh-oleh maksudnya?”
“Ya.., yang jelas bisa buat kami yang di sini jadi mempertimbangkan usul bapaklah, bapak gitu aja kok ditanyain...” sambil sedikit bersungut, mencolek tangan Pak Jujur dengan telunjuknya.
“Jadi karena tidak ada usul dari bapak sebelumnya, berarti bapak orangnya bisa nerima dan mau dipindah di mana saja, makanya bapak kami pindah ke Ujung Bumi,”
“Bapak sombong, sih..., kalau yang lain pada akrab main kemari,”

Walau suasana di ruang tersebut terlihat ramai, tetapi Pak Jujur merasakan hening. Berapa kali ia menghembus nafas panjang, berat dan meratap. Kembali ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Maaf, pak, jadi saya gimana? Ada kemungkinan untuk dapat dikabulkan usul saya?”
“Ya, bisa, sih, saya pertimbangkan, tapi ya..., tidak bisa sekarang Pak Jujur, ya..., sekitar empat atau lima tahun lagi lah...”

Ruang menjadi begitu sepi, entah apa lagi yang diucapkan lelaki gemuk berbatas meja di depan Pak Jujur, ia hanya melihat mulutnya saja yang komat-kamit.
 Pandangannya nanar, mengembara sampai pada sebuah tulisan di sudut ruangan “Bekerjalah Dengan Ikhlas dan Jujur, Keluarga Anda Menanti”, dengan latar belakang halaman rumahnya, terlihat istri dan anak-anaknya berpelukan, menangis, menjulurkan tangan, berusaha menggapai, begitu jauh...