Aku merebahkan diri di rerumputan empuk,
di bawah pohon rindang berbuah lebat, berwarna merah muda. Mata jernihku begitu
riang melompat-lompat pandang dari satu buah ke buah lainnya, dari satu tangkai
bunga ke bunga lainnya. Bentuk dan warna mahkotanya begitu serasi. Jari-jari
tanganku berangkul membentuk bantal menahan kepalaku.
Alamku kini begitu indah dan wangi,
terlebih di taman ini. Kuhirup napas dalam dan perlahan. Tanpa perintah,
kelopak mataku kini merapat, tidak mau ketinggalan menikmati aroma mewangi
merasuk mulai dari lubang hidung, tenggorokan, dada hingga paru-paru. Kelelahanku
terbayar sudah, selepas bermain dengan teman sebayaku. Aku sangat senang
bermain berlama-lama dengan mereka. Mereka teman yang baik dan juga memiliki
paras yang apik, sama sepertiku. Jika kami semua berkumpul, terlihat seperti
playgroup atau taman kanak-kanak.
Kalau diusiakan, aku berumur sekitar
empat tahun, mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-temanku, karena tinggi badan
kami yang hampir sama.
Aku juga selalu bahagia menetap di
alamku kini. Semua yang kuinginkan selalu tersedia. Jika aku lapar, maka
tangkai-tangkai pepohonan akan merunduk mempersembahkan buahnya untuk kumakan.
Sesudahnya aku akan meraup aliran air susu yang mengalir di bawahnya dan
meminumnya. Walaupun bermain seharian, makan dan minum seenaknya, tetapi aku
tidak pernah terserang penyakit, fisikku selalu segar bugar.
***
Udara di sini begitu sejuk tetapi tetap
hangat. Angin bermain bersama burung-burung yang berjingkrak di ranting
pepohonan, membawa beberapa helai masa laluku dan merajutnya bersama
mimpi-mimpiku dan cerita teman bermainku.
Yah, aku ingat kalau aku pernah merasa
kesakitan yang mendalam lalu pandanganku menjadi gelap, hingga aku dibangunkan
kembali. Aku bak roda berputar di sebuah pabrik, melewati beberapa proses,
sampai akhirnya aku di tempatkan di alam yang indah sekarang.
Rajutan ingatanku kini mulai sempurna.
Aku memiliki ayah dan ibu yang kuanggap tidak sepenuhnya menyayangiku. Mereka
lebih mementingkan karir dan pekerjaannya dibanding mengurusiku. Lama-lama aku
bosan bersama perempuan yang biasa kupanggil bibi. Dia juga selalu tidak sabar
dan sering memarahiku.
Tetapi pagi itu aku gembira, karena kali
ini bibi baik mengajakku ke pusat perbelanjaan. Aku senang melihat barang-barang
baru dipajang. Semua bisa kusentuh dan kucium. Dan biasanya ada beberapa yang
diperbolehkan bibi untuk kubawa pulang. Aku juga sangat senang menaiki
eskalator, karena pada saat itu tubuhku akan dibawanya bergerak naik atau turun.
Sampai suatu saat bibi kulihat sumringah dan senyum-senyum dikulum ketika ada
lelaki bersamanya. Jelasnya aku tidak tertarik di sisi bibi. Aku melongo, pandanganku
tertuju pada balon warna-warni, berlenggak-lenggok. Tanpa sadar aku sudah
berada di sisi pagar pembatas lantai tiga. Dari sini jelas kulihat ratusan
balon warna-warni lurus dengan arah pandangku. Sekilas kulihat talinya erat
mengikat di lantai dasar. Sekejap keinginanku memuncak memilikinya, nantinya
dapat kusombongkan dengan Nina, teman bermainku. Tanganku berusaha meraihnya
dan kakiku memanjat naik pagar pembatas. Jemari tangan kananku terasa semakin
dekat dengan balon warna-warni. Pikirku hanya riangnya Nina nanti melihat
balonku. Sampai aku terkaget, kakiku terpeleset. Aku terjun. Kepalaku terasa
begitu sakit membentur lantai, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Lain lagi apa yang dikisahkan Theresia
beberapa waktu lalu kepada kami. Entah kenapa pada suatu malam ibunya mengikat
erat tangannya lalu menutup mulutnya dengan lakban. Theresia melihat kedua
adiknya juga diperlakukan sama dengannya.
“Kami meronta dan berteriak sebisanya. Kemudian
ibuku menyirami dirinya dan kami dengan air beraroma khas”, sambung Theresia
cadel bercerita.
“Ibuku lalu menyulutkan api dan sekejap
api mulai menyantap tubuh kami. Kami meronta kepanasan. Aku menggeleparkan
tubuhku, sungguh begitu pedihnya daging masak terpanggang, sampai akhirnya aku
tidak ingat apa-apa lagi,”
Kami semua mendengar kisah Theresia
dengan seksama dan bersedih, tetapi tidak satupun diantara kami yang menitikkan
air mata dan bibir kami masih manis tersenyum.
***
Teman lelakiku Anton dan duduk di pojok.
Warna kulitnya lebih coklat, namun tetap terlihat manis, ikut membagi dukanya
pada saat di alam fana.
Anton anak yang selalu gembira. Ia tidak
pernah bersekolah. Ia anak yang bebas. Bermain di jalanan, berlari di tumpukan
sampah. Ia tidak pernah memikirkan apakah ia kenyang atau lapar. Tidak perlu
repot dengan rutinitas yang mengharuskannya makan di waktu pagi, siang dan
malam, yang penting ia bisa bebas bermain seharian.
“Suatu saat ayahku menitipkanku pada
seorang lelaki asing. Ayahku meninggalkanku setelah menerima beberapa lembar
uang lima puluh ribuan dari laki-laki itu,” Anton bertutur dihiasi lesung
pipinya.
“Esoknya aku dipaksa kerja rodi,
mengemis, ngamen atau pekerjaan jalanan lain, dan uangnya harus diserahkan
kepada laki-laki tersebut. Aku tidak perduli, aku hidup dan tinggal dengan
siapa, ayahku atau bukan, tetapi aku bersedih jika hak bermainku direnggut.
Sampai pada suatu sore, ketika aku menyelesaikan jam istirahatku di sebuah
gubuk kardus. Setengah sadar aku merasa ada yang menarik celanaku hingga ke
betis, lalu aku merasakan sesuatu di selangkanganku menuju anus. Kesadaranku
penuh dan bergegas menepis dan membenahi kembali pakaianku. Dengan tangkas
lelaki teman ayahku yang sedari tadi menemaniku tidur berusaha menahanku
beranjak. Sekuat tenaga aku meronta dan berlari keluar. Jatuh bangun, aku terus
berlari sekencang mungkin. Lalu telingaku sayup mendengar suara klakson, dan,
brukk...” telapak tangan Anton bergerak memukul keningnya sendiri.
“Benda keras menghantam tubuhku dengan
cepat. Aku kesakitan, kepalaku sangat pusing dan pandanganku menjadi gelap.”
***
“Sekarang giliranku bercerita,” pekik
gadis imut dan cantik dengan rambut lebat sebahu membuyar khusuk kami.
Ia duduk tepat di samping kananku waktu
itu. Aku ingat pada saat ia mulai bercerita, angin sejuk meniup aroma wangi
bunga mengusap wajah kami yang putih bersih. Namanya Nurida. Kami biasa
memanggilnya dengan sebutan Ida. Sejak umur dua tahun ia sudah ditinggal
ibunya. Bapaknya bilang kalau ibunya merantau ke negeri orang, cari uang untuk
beli susu Ida. Ida selalu berharap ibunya cepat kembali. Lama kelamaan ia tidak
yakin akan harapannya, karena sudah empat tahun berlalu tidak ada kabar dari
ibunya.
Bagaimana dengan ayahnya? Yang ia tahu,
sejak setahun kepergian ibu, ada beberapa perempuan sering menginap bersama
bapak di rumahnya.
“Perempuan-perempuan itulah yang menjadi
tumpuan kasih sayang bapak dibanding aku,” ujarnya.
“Untung ada bibi saudara ibuku yang kerap
menemaniku, tetapi tidak di malam hari. Engkau tahu kawan, apa yang
menjadikanku ada di sini, dapat berkumpul bersama kalian?” begitu sambungnya.
“Sewaktu umurku belum tujuh tahun,
ketika suatu saat bapakku dengan ganas menelanjangiku dan menyekap mulutku
dengan kekar tangannya. Aku meronta semampuku, tetapi tenaga iblis itu lebih
kuat dibandingkan aku. Aku menendang, meninju, menjerit. Lalu aku merasakan
sesuatu menusuk kemaluanku. Pedih, sakit, tak tertahankan. Aku menangis,
menahan sakit. Bapak tidak mau mengasihiku, malah ia mengancam aku agar tidak
melaporkan kepada siapapun atas kelakukan bejat bapakku itu. Hingga akhirnya
aku jatuh sakit, karena berkali-kali setan bapak memaksa aku kembali ‘bermain’
dengannya. Di dalam kamar rawat sebuah rumah sakit, akhirnya aku berpisah
dengan jasadku.”
Kami semua bengong. Tatapan kami kosong,
melotot, menatap Ida.
***
Hewan-hewan bersayap masih saja riang
menyanyikan lagu-lagu pantun saling bersahutan. Beberapa helai daun turun
manari-nari di hembus angin sepoi sampai ke tanah.
Jika gelap merambat masuk, kami akan
melanjutkan mendengar kisah teman-teman lain esok harinya. Begitu banyak ingin
aku sampaikan cerita temanku itu. Ada Shasha yang diajak ibunya melompat ke
sungai yang deras, dari atas jembatan. Beda lagi cerita Arif. Akibat
tetangganya bermusuhan dengan bapaknya, malah si Arif yang dihabisi nyawanya.
Ia dipisahkan dari ruhnya dengan dipukul martil dan dibanting-banting, lalu
saat meregang nyawa dengan biadabnya tetangganya mengubur Arif.
Sungguh aku tidak dapat
mengisahkan kembali cerita duka teman-temanku. Begitu banyak yang aku dengar
dan aku coba ingat. Dan setiap kali kami berkumpul, aku selalu menemukan
wajah-wajah baru. Lama kelamaan aku kesulitan juga menghitungnya, menentukan
berapa jumlahnya. Tetapi yang dapat aku pastikan dan kusampaikan kepada kalian,
mereka berwajah berseri-seri dan beraroma wangi. Dan mengapa suara kami selalu
parau ketika melantunkan ucapan “Ayah, ibu, tolong jaga kami...”
mengharukan
BalasHapusbegitulah yang serng terjadi sekarang, rekan...
BalasHapussemoga hari ini menjadi hari yang paling menyenangkan untuk kita semua.
BalasHapusSalam kenal dari saya dan sukses selalu untuk kita semua.
Terima kasih atas ilmu yang telah anda berikan semoga menjadi manfaat khususnya buat diri saya pribadi dan umumnya untuk semua yang telah membaca blog anda yang sangat bagus ini.
terima kasih banyak saya ucapkan atas segala pengetauhan yang anda berikan melalui web ini, ini merupakan satu kebanggan untuk saya dan pastinya sangat bermanfaat sekali untuk saya pribadi dan untuk semua pada umumnya
BalasHapus