Jumat, September 16, 2016

Tentang MK yang ini

Si Miskin (M) dan Kaya atau yang punya Kuasa (K) seringnya tidak cocokan. Terkadang dengan beraninya berlindung di balik statusnya masing-masing untuk menang dalam beberapa kondisi. Si (K) lebih berani memenangkan konflik, karena merasa kaya dan kuasa punya segalanya. Si (M) juga kadang manja, yang menurutnya harus dilindungi, yang lain seharusnya mengalah, apalagi negara dengan Undang-Undang Dasar memuliakannya: fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Suatu saat di jalan raya:
Sopir angkot marah-marah, mobilnya ditabrak dari belakang oleh mobil seharga ratusan juta di belakangnya. Yang bawa yakin kalau tuh angkot mendadak ke kiri tapi gak ngesen. Rusaknya sangat tidak parah, tapi bentak-bentaknya dan minta ganti ruginya kelewat. Karena terburu-buru, sopir mobil tadi mengeluarkan beberapa uang lima puluh ribuan dan langsung tancap gas.

Di saat yang beda di jalan raya:
Sopir angkot habis dimaki dan dipukul oleh seseorang dengan tampilan perlente. Usut punya usut, ternyata mobil angkotnya nyerempet sedikit buanget tuh mobil yang dibawa si pemuda perlente. Bapak sopir angkot dengan wajah sendunya diem aja sambil megang pipinya yang memerah.

Suatu saat di Rumah Sakit Pemerintah:
Diujung ruang bangsal penyakit dalam. Ramai keluarga pasien riuh berkeluh kesah. Pasien dengan jaminan KK (Kartu Keluarga) dan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Merasa dibedakan pelayanan. Ribut kepada perawat yang katanya sering tidak cepat tanggap. Gak sabar dengan penyakitnya, kok gak sembuh-sembuh. Ada yang tercetus, lapor aja ke anggota dewan, kan mereka wakil kita. Sampai dokter yang meriksa pun tak luput dari bentakan keluarga pasien.

Di saat yang beda di Rumah Sakit Pemerintah:
Dokter satu ini begitu bersih dan wanginya. Bukan karena ia higienis, tetapi jari-jari lentiknya yang "alergi" nyentuh borok atau nanah. Gatel hidungnya nyium aroma keringat pasien yang satu ruang bisa dua puluh orang. Nih dokter cuma senyum di awal pertemuan, lalu tekuk muka dua puluh satu jika terus ngeliat pasien ini lagi, ini lagi, busuk lagi, busuk lagi. Pengennya cepet pulang atau cari dokter lain.

Suatu saat di kota yang ramai gak pernah sepi:
Ratusan orang angkat tangan mengepal, nada suaranya tinggi, menuntut sesuatu. Terkabar bahwa bangunan gubuk yang mereka tinggali puluhan tahun akan diratakan dengan tanah. Mereka pada gak punya KTP, ada yang punya juga tetapi tidak berdomisili di wilayah itu. Dalihnya mereka tidak menetap lama di daerah tersebut (tetapi sudah puluhan tahun, wkwk). Mereka berkoar meminta ganti rugi yang sesuai, tempat tinggal baru yang layak dan gratis. Ukuran minimal 10 x 12 meter. Kamar mandi dua. Air berlimpah dan lingkungan yang asri. Karena jadinya jauh dari tempat usaha, maka sekalian kasih kerja atau jaminan kebutuhan hidup.

Di saat yang beda di kota yang ramai gak pernah sepi:
Diskusi hangat penuh persahabatanditemani rokok dan minuman. Terkapar gadget dan berkas. Kertas putih bergambar banyak jalan dan pepohonan, mengitari bangunan tinggi 24 tingkat. Ini investasi katanya, pertumbuhan ekonomi akan meningkat, masyarakatpun akan ikut sejahtera. Pasti ada penggusuran dan realokasi, maka itu adalah pengorbanan.

Suatu saat di sebuah rumah bercahaya remang:
Asyiknya jongkok di kursi kayu, ngepus asap rokok keluar masuk. Bapak muda. Istrinya ngorok habis neteki anaknya yang tidur terlengtang di sampingnya. Di ruang yang putih asap menari penuh cerita. Cerita tentang mimpi, angan-angan dan harapan. Tentang kerjaan tetap yang tidak kunjung datang. Anak masih kecil males ngurusnya, tapi pengen, buat lagi. Tentang kebon di kampung, yang enaknya ditanemin apa. Pulang juga belum tentu kaya, malu sudah pasti. Pikirnya enak di sini, jalan-jalan dikit sudah dapet 50 ribu.

Di saat yang beda di sebuah rumah bercahaya remang:
Anak manusia asyik sendiri. Melukis mimpi, menyulut kembang api warna-warni. Beberapa kenangan indah datang dan pergi. Bayangan wajah kekasih elok berseri, berkeliling mengitari kamar. Pemuda tajir tiga puluhan, lelah bekerja seharian. Sebelum sampai ke rumah menukar beberapa lembar ratusan ribu dengan serbuk putih dibungkus plastik. Beruntung si pengemis sigap miminta uang kembaliannya, 50 ribu.  
 

Rabu, Mei 08, 2013

Rumus Tersulit Dari Orang Tua

Tahun 2012 dan nampaknya merambat ke tahun 2013, menjadi tahun perceraian para artis Indonesia. Berita tak terduga tentang gugatan cerai sering kita dengar dari media. Banyak masyarakat terheran-heran, kaget, menyaksikan berita salah satu infotainment stasiun televisi Jamal Mirdad dan Lydia Kandou sedang dalam proses perceraian misalnya. Lah, bagaimana bisa, la wong mereka akur-akur saja kok selama ini, umur pernikahan mereka juga tidak bisa dikatakan singkat, 27 tahun! Begitu juga dengan pasangan artis lain, seperti Vena Melinda dengan Ivan Fadilla, Katon Bgaskara dengan Ira Wibowo, Donny Damara dengan Vita Maului Amanda dan kasus terakhir yang paling spektakuler adalah Camelia Malik dengan Harry Capri yang gugatan cerainya disampaikan bertepatan dengan 25 tahun masa pernikahan mereka.

fiksi.kompasiana.com

Ditayangkan dalam suatu kesempatan, mereka masih bersama, mesra berdua, saling memberikan pujian, malah memberikan tips rumah tangga rukun dan langgeng. Benar-benar terlihat mereka adalah pasangan yang serasi dan layak untuk dijadikan panutan. Sebagian masyarakat malah ada yang iri dengan kelangsungan rumah tangga mereka yang adem ayem. Lalu kemudian secara tiba-tiba mereka bercerai. 

                                                                                                                                                              www.reddit.com
Jangan ditanya bagaimana indahnya hubungan pra nikah dan masa-masa awal pernikahan, itu telah kuno untuk dibahas. Analisa saja bagaimana mereka dapat mempertahankan rumah tangga yang nampaknya bahagia selama lebih dari sepuluh tahun. Umur pernikahan mereka sudah lama, sudah sampai generasi ketiga alias sudah bercucu. Ya, saya kira kita semua setuju kalau mereka telah dewasa dalam menata rumah tangga. Sudah terlalu biasa dalam mengatasi masalah-masalah kacangan. Sudah kapalan melewati romantika cemburu. Seharusnya mereka sudah tertempa cukup lama dalam mengatasi setiap masalah keluarga. Bukan zamannya lagi untuk mengurusi hal yang begituan. Kata sayang dan cinta mungkin sudah menjadi hal yang biasa diantara pasangan ini. Atau mungkin bukan sesuatu yang istimewa, seperti halnya kata-kata yang indah pada waktu dulu. Jadi saya menganggap ucapan klise sayang dan cinta, seharusnya lebih jauh dimaknai dari hanya sekedar ucapan. Dan sewajarnya kulit pembungkusnya bukan masanya lagi untuk diperdebatkan. Sepantasnya meraka telah mencapai fase finishing. Jangan lagi mempermasalahkan bentuknya yang bengkok sebelah atau tidak rata dibagian depan atau belakangnya. Jadi makna terdalamnya adalah laporan pertanggungjawaban diri masing-masing. Bagaimana suami mempertanggungjawabkan tugasnya dan dengan senyum menikmatinya, begitu juga dengan sang istri.

Lah, trus, kalau mau cerai juga gimana? Nah, ini yang membingungkan, karena ada penerapan rumus tersendiri dari orang tua yang tidak pernah dimengerti, khususnya sang anak. Karena setiap kali ditanya alasannya kenapa bercerai, masing-masing pihak bertutur kalau mereka pada dasarnya masih saling menyayangi dan saling mencintai, kami sangat sedih untuk memutuskan ini (cerai).

                                 twitter.com
Nah, yang seperti ini tidak masuk ke nalar sang anak. Masih saling cinta, saling sayang, tidak mau pisah, tetapi masih dipilih juga perceraian. Anak yang paling pintar sekalipun akan serius berpikir, sungguh ini rumus tersulit dari rumus manapun yang pernah ia pelajari. Lalu kenapa juga orang tua menciptakan rumus yang sulit yang hanya diketahui oleh mereka sendiri serta mengorbankan anak-anak mereka untuk berpikir keras menjawabnya. Mungkin inilah penyakit menahun orang tua, egois. 



Rabu, April 17, 2013

Barang baru

Suatu pagi yang cerah, 
di hari minggu pada bulan yang basah. 
Di sebuah rumah mewah, 
di kawasan perumahan elite ibu kota.

Gesit tangan Partiyem mengolah hidangan. 
Mulai dari kue kering untuk di dalam toples, makanan di piring-piring kecil, hingga minuman ringan.

Semua itu mudah bagi Partiyem. 
Ia dapat memasak makanan kota sampai sekedar tempe bacem. 
Saking mahirnya ia dapat beratraksi sambil merem. 
Ia lakukan dengan tenang dan tetap kalem. 
Hebat Partiyem.

Ia sudah delapan tahun menjabat pembantu rumah tangga di rumah Nyonya Ningsih. 
Janda cantik beranak satu berkulit putih. 
Partiyem kerasan tinggal di sini, 
karena apa yang diminta Partiyem, seringnya dikasih. 
Tetapi wajar saja, karena Partiyem orangnya rajin sehingga rumah selalu terlihat bersih.

Selesai. Sumringah Partiyem melakukan atraksi. 
Dengan sigap dan santai ia berlenggok berjalan menuju sebuah meja panjang yang hampir penuh berisi perhiasan dan tentu bukan imitasi. 
Iapun langsung mempersilakan dengan sedikit basa-basi.

Arisan perhiasan menjadi agenda rutin lima ibu muda ini. 
Para wanita karir yang memiliki usaha yang mumpuni. 
Bagi mereka harta adalah istimewa. 
Status keluarga tidaklah masalah. 
Suami bisa disewa, yang penting bahagia, tidak perlu yang setia.

Sekarang acaranya sudah bebas, 
setelah tadi arisan didapat oleh Jeng Paras.

Wanita berambut warna emas sebahu memulai wacana, 
menyombongkan barang barunya yang dapat membuat terpana.

“Aduh, Jeng..., bodinya mulus, mesinnya masih bagus, waktu itu gue dapetin di Lebak Bulus, pokoknya maknyus...,”
“Lah, yang lama, Jeng..., sudah dihapus?”
“Ah, yang lama bosen, itu juga gue dapetin seken”

“Ih, Jeng Mira, yang dapet di Lebak bulus diumbar, mending eke, bodinya yang lebar, kalo sudah dibuat duduk, bikin konsentrasi buyar, trus kalo sudah tuas persnelingnya diputar, bikin jantung berdebar,”

“Ha ha ha..., Jeng Shinta, mobil balap ukuran jumbo, ya? Kalo saya, sih, wajar dimiliki yang kaya kaya’ saya. Habis yang dulu sudah gak ada daya, jadinya banyak makan biaya. Lah, kalo yang sekarang, saya punya kuda troya, pokoknya bisa dibuat beragam gaya,”

“Kalo Jeng Ningsih, gimana, nih, sudah dapet yang baru, belum?” tanya wanita yang tadi baru dapet, dengan senyum dikulum.
“Kalo saya, sih, maklum, lah wong yang kemarin aja masih ranum,”sambil senyum.

“Waduh, Jeng..., kalau saya, gak sembarang cari yang baru, pokoknya gak mau terburu-buru,”
“Saya maunya barang yang sempurna, yang bisa untuk segala suasana,”
“Soalnya bercermin dari barang lama, karena sudah kepala lima, trus jadi gak bisa tahan lama, dipaksain..., eh, malah koma,” celoteh pemilik rumah, sambil ngemil kurma.

Partiyem yang sedari tadi nguping di ruang samping jadi pusing. 
Maklum, Partiyem orang kampung yang dulu hanya makan kangkung. 
Mana tahu ia model mobil baru yang baru dibahas begitu seru di ruang tamu bercat biru.

Zaman sudah semakin canggih, sudah banyak ragam mobil dengan kemampuan tinggi, mampu dibeli. 
Dari yang umurnya matang, sampai yang masih bujang. 
Dari yang lokal, sampai internasional.

Kamis, April 11, 2013

Perjalananku kali ini

Ada beberapa faktor hingga keputusan untuk menempuh perjalanan dengan mengendarai motor kuambil. Begitu juga untuk kali ini. Aku harus yakin tanpa ragu, berbekal doa dan percaya diri, kuberangkat. Alhamdulillah, perjalanan pulang pergi kulalui bisa dikatakan lancar, hanya malam dan hujan hingga perjalanan memakan waktu lebih lama setengah sampai satu jam dari waktu normal.

Ada beberapa pelajaran yang kuambil dari perjalananku numpak motor :
1.      Jangan ragu untuk menentukan pilihan. Dalam hal ini pilihan antara naik motor atau mobil. Karena dengan yakin, kita dapat berkendara dengan percaya diri, boleh ngebut tetapi tetap berhati-hati. Jadinya kita lebih berkonsentrasi, karena tidak ada keraguan yang merusaknya. Perjalanan dapat enjoy walau dengan kecepatan tinggi. Dengan yakin, kita bisa lebih prepare, lalu pasrah berserah kepada yang Kuasa.
2.    Kesimpulan atas pandangan mata tidaklah akurat. Karena kemampuan mata kita untuk melihat lalu menilai sesuatu sangat terbatas. Pernyataan tersebut bercermin dari pengalamanku memperkirakan cuaca. Sebelum melaju, di langit nun jauh di sana, ke arah tujuanku, kulihat tiada mendung, cerah. Rupanya aku cukup beruntung, benakku menduga perjalananku akan lancar. Tetapi setelah satu jam lebih perjalanan, tetes-tetes hujan mulai menabrak lajuku dan warna langit mengarah tujuanku, gelap. Setengah jam kemudian tumpah ruah hujan turun. Langit kini rata warnanya, putih keabu-abuan. Kembali dangkal pandanganku mencerna. Wah.., hujan bakal rata dan lama! Benar saja, hujan derasnya lama, tetapi tidak pake’ rata. Karena lebih kurang satu setengah jam menanti reda, aku putuskan untuk menerobos ramai guyur hujan. Sekitar lima menit berlalu..., e latalah, di sini tidak hujan rupanya. Lagi-lagi mataku tertipu. Aku berkesimpulan, sungguh Engkau Maha Besar, ukuran bumi saja mataku tak bisa menjangkaunya, jauh dari alam semesta ini. Dan yang ke-
3.     Begitu sempurnanya Engkau ciptakan tubuh ini. Selama beberapa jam, bola mataku bebas menyentuh debu, binatang-binatang kecil yang beterbangan, air hujan dan hembusan angin kencang, tetapi alhamdulillah masih berfungsi dengan baik, tetap dapat kugunakan dengan normal. Lantas kemana debu dan benda-benda asing lain yang singgah di mataku? Rupanya mata memiliki selaput bening dan air mata yang melindungi dari kotoran yang masuk. Lama-kelamaan kotoran tadi mengumpul di sisi pinggir mata, kiri, kanan atau bawah mata. Maaf kalau kusedikit jorok menggambarkannya. Kotoran tadi mengumpul bersama dengan tahi mata atau belek. Warnanya masih sama, dominan hitam dan dengan mudah dapat kita ambil sendiri dengan cutton bud atau sapu tangan. Coba kalau mata kita buatan manusia. Cak pempek yang diadon oleh wong Palembang misalnyo. Dak bepeker duo kali, langsung kucocok pake’ gerpu, trus kuembat, cacam cacam..., lemaknyo.., he..he...he...

Terakhir, selalu berdoa kepada Allah agar diberikan kelancaran dan kemudahan, diberikan perlindungan dan terhindar dari bala’ dan marabahaya untuk kita dan keluarga yang kita tinggalkan. Tetaplah leksanakan shalat, jika telah masuk waktunya hanya lima belas menit berhenti sejenak, sekalian beristirahat.

Lalu terakhir sekali. Jangan sombong. Menyalip, ngebut, bukan untuk hebat-hebatan dan bukan kita yang paling kencang larinya. Kita menyalip memang kita tepat waktunya untuk menyalip. Jadi kembali ke tujuan awal. Kita ngebut dan menyalip memang kita perlu itu dan waktunya pas. Sehingga laju motor kita masih terarah. Boleh cepat asal selamat, opo to...

Kamis, Februari 21, 2013

Bidadari Langit


Aku merebahkan diri di rerumputan empuk, di bawah pohon rindang berbuah lebat, berwarna merah muda. Mata jernihku begitu riang melompat-lompat pandang dari satu buah ke buah lainnya, dari satu tangkai bunga ke bunga lainnya. Bentuk dan warna mahkotanya begitu serasi. Jari-jari tanganku berangkul membentuk bantal menahan kepalaku.
Alamku kini begitu indah dan wangi, terlebih di taman ini. Kuhirup napas dalam dan perlahan. Tanpa perintah, kelopak mataku kini merapat, tidak mau ketinggalan menikmati aroma mewangi merasuk mulai dari lubang hidung, tenggorokan, dada hingga paru-paru. Kelelahanku terbayar sudah, selepas bermain dengan teman sebayaku. Aku sangat senang bermain berlama-lama dengan mereka. Mereka teman yang baik dan juga memiliki paras yang apik, sama sepertiku. Jika kami semua berkumpul, terlihat seperti playgroup atau taman kanak-kanak.
Kalau diusiakan, aku berumur sekitar empat tahun, mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-temanku, karena tinggi badan kami yang hampir sama.
Aku juga selalu bahagia menetap di alamku kini. Semua yang kuinginkan selalu tersedia. Jika aku lapar, maka tangkai-tangkai pepohonan akan merunduk mempersembahkan buahnya untuk kumakan. Sesudahnya aku akan meraup aliran air susu yang mengalir di bawahnya dan meminumnya. Walaupun bermain seharian, makan dan minum seenaknya, tetapi aku tidak pernah terserang penyakit, fisikku selalu segar bugar.

***

Udara di sini begitu sejuk tetapi tetap hangat. Angin bermain bersama burung-burung yang berjingkrak di ranting pepohonan, membawa beberapa helai masa laluku dan merajutnya bersama mimpi-mimpiku dan cerita teman bermainku.
Yah, aku ingat kalau aku pernah merasa kesakitan yang mendalam lalu pandanganku menjadi gelap, hingga aku dibangunkan kembali. Aku bak roda berputar di sebuah pabrik, melewati beberapa proses, sampai akhirnya aku di tempatkan di alam yang indah sekarang.
Rajutan ingatanku kini mulai sempurna. Aku memiliki ayah dan ibu yang kuanggap tidak sepenuhnya menyayangiku. Mereka lebih mementingkan karir dan pekerjaannya dibanding mengurusiku. Lama-lama aku bosan bersama perempuan yang biasa kupanggil bibi. Dia juga selalu tidak sabar dan sering memarahiku.
Tetapi pagi itu aku gembira, karena kali ini bibi baik mengajakku ke pusat perbelanjaan. Aku senang melihat barang-barang baru dipajang. Semua bisa kusentuh dan kucium. Dan biasanya ada beberapa yang diperbolehkan bibi untuk kubawa pulang. Aku juga sangat senang menaiki eskalator, karena pada saat itu tubuhku akan dibawanya bergerak naik atau turun. Sampai suatu saat bibi kulihat sumringah dan senyum-senyum dikulum ketika ada lelaki bersamanya. Jelasnya aku tidak tertarik di sisi bibi. Aku melongo, pandanganku tertuju pada balon warna-warni, berlenggak-lenggok. Tanpa sadar aku sudah berada di sisi pagar pembatas lantai tiga. Dari sini jelas kulihat ratusan balon warna-warni lurus dengan arah pandangku. Sekilas kulihat talinya erat mengikat di lantai dasar. Sekejap keinginanku memuncak memilikinya, nantinya dapat kusombongkan dengan Nina, teman bermainku. Tanganku berusaha meraihnya dan kakiku memanjat naik pagar pembatas. Jemari tangan kananku terasa semakin dekat dengan balon warna-warni. Pikirku hanya riangnya Nina nanti melihat balonku. Sampai aku terkaget, kakiku terpeleset. Aku terjun. Kepalaku terasa begitu sakit membentur lantai, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Lain lagi apa yang dikisahkan Theresia beberapa waktu lalu kepada kami. Entah kenapa pada suatu malam ibunya mengikat erat tangannya lalu menutup mulutnya dengan lakban. Theresia melihat kedua adiknya juga diperlakukan sama dengannya.
“Kami meronta dan berteriak sebisanya. Kemudian ibuku menyirami dirinya dan kami dengan air beraroma khas”, sambung Theresia cadel bercerita.
“Ibuku lalu menyulutkan api dan sekejap api mulai menyantap tubuh kami. Kami meronta kepanasan. Aku menggeleparkan tubuhku, sungguh begitu pedihnya daging masak terpanggang, sampai akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi,”
Kami semua mendengar kisah Theresia dengan seksama dan bersedih, tetapi tidak satupun diantara kami yang menitikkan air mata dan bibir kami masih manis tersenyum.

***

Teman lelakiku Anton dan duduk di pojok. Warna kulitnya lebih coklat, namun tetap terlihat manis, ikut membagi dukanya pada saat di alam fana.
Anton anak yang selalu gembira. Ia tidak pernah bersekolah. Ia anak yang bebas. Bermain di jalanan, berlari di tumpukan sampah. Ia tidak pernah memikirkan apakah ia kenyang atau lapar. Tidak perlu repot dengan rutinitas yang mengharuskannya makan di waktu pagi, siang dan malam, yang penting ia bisa bebas bermain seharian.
“Suatu saat ayahku menitipkanku pada seorang lelaki asing. Ayahku meninggalkanku setelah menerima beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari laki-laki itu,” Anton bertutur dihiasi lesung pipinya.
“Esoknya aku dipaksa kerja rodi, mengemis, ngamen atau pekerjaan jalanan lain, dan uangnya harus diserahkan kepada laki-laki tersebut. Aku tidak perduli, aku hidup dan tinggal dengan siapa, ayahku atau bukan, tetapi aku bersedih jika hak bermainku direnggut. Sampai pada suatu sore, ketika aku menyelesaikan jam istirahatku di sebuah gubuk kardus. Setengah sadar aku merasa ada yang menarik celanaku hingga ke betis, lalu aku merasakan sesuatu di selangkanganku menuju anus. Kesadaranku penuh dan bergegas menepis dan membenahi kembali pakaianku. Dengan tangkas lelaki teman ayahku yang sedari tadi menemaniku tidur berusaha menahanku beranjak. Sekuat tenaga aku meronta dan berlari keluar. Jatuh bangun, aku terus berlari sekencang mungkin. Lalu telingaku sayup mendengar suara klakson, dan, brukk...” telapak tangan Anton bergerak memukul keningnya sendiri.
“Benda keras menghantam tubuhku dengan cepat. Aku kesakitan, kepalaku sangat pusing dan pandanganku menjadi gelap.”

***

“Sekarang giliranku bercerita,” pekik gadis imut dan cantik dengan rambut lebat sebahu membuyar khusuk kami.
Ia duduk tepat di samping kananku waktu itu. Aku ingat pada saat ia mulai bercerita, angin sejuk meniup aroma wangi bunga mengusap wajah kami yang putih bersih. Namanya Nurida. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Ida. Sejak umur dua tahun ia sudah ditinggal ibunya. Bapaknya bilang kalau ibunya merantau ke negeri orang, cari uang untuk beli susu Ida. Ida selalu berharap ibunya cepat kembali. Lama kelamaan ia tidak yakin akan harapannya, karena sudah empat tahun berlalu tidak ada kabar dari ibunya.
Bagaimana dengan ayahnya? Yang ia tahu, sejak setahun kepergian ibu, ada beberapa perempuan sering menginap bersama bapak di rumahnya.
“Perempuan-perempuan itulah yang menjadi tumpuan kasih sayang bapak dibanding aku,” ujarnya.
“Untung ada bibi saudara ibuku yang kerap menemaniku, tetapi tidak di malam hari. Engkau tahu kawan, apa yang menjadikanku ada di sini, dapat berkumpul bersama kalian?” begitu sambungnya.
“Sewaktu umurku belum tujuh tahun, ketika suatu saat bapakku dengan ganas menelanjangiku dan menyekap mulutku dengan kekar tangannya. Aku meronta semampuku, tetapi tenaga iblis itu lebih kuat dibandingkan aku. Aku menendang, meninju, menjerit. Lalu aku merasakan sesuatu menusuk kemaluanku. Pedih, sakit, tak tertahankan. Aku menangis, menahan sakit. Bapak tidak mau mengasihiku, malah ia mengancam aku agar tidak melaporkan kepada siapapun atas kelakukan bejat bapakku itu. Hingga akhirnya aku jatuh sakit, karena berkali-kali setan bapak memaksa aku kembali ‘bermain’ dengannya. Di dalam kamar rawat sebuah rumah sakit, akhirnya aku berpisah dengan jasadku.”
Kami semua bengong. Tatapan kami kosong, melotot, menatap Ida.

***

Hewan-hewan bersayap masih saja riang menyanyikan lagu-lagu pantun saling bersahutan. Beberapa helai daun turun manari-nari di hembus angin sepoi sampai ke tanah.
Jika gelap merambat masuk, kami akan melanjutkan mendengar kisah teman-teman lain esok harinya. Begitu banyak ingin aku sampaikan cerita temanku itu. Ada Shasha yang diajak ibunya melompat ke sungai yang deras, dari atas jembatan. Beda lagi cerita Arif. Akibat tetangganya bermusuhan dengan bapaknya, malah si Arif yang dihabisi nyawanya. Ia dipisahkan dari ruhnya dengan dipukul martil dan dibanting-banting, lalu saat meregang nyawa dengan biadabnya tetangganya mengubur Arif.
Sungguh aku tidak dapat mengisahkan kembali cerita duka teman-temanku. Begitu banyak yang aku dengar dan aku coba ingat. Dan setiap kali kami berkumpul, aku selalu menemukan wajah-wajah baru. Lama kelamaan aku kesulitan juga menghitungnya, menentukan berapa jumlahnya. Tetapi yang dapat aku pastikan dan kusampaikan kepada kalian, mereka berwajah berseri-seri dan beraroma wangi. Dan mengapa suara kami selalu parau ketika melantunkan ucapan “Ayah, ibu, tolong jaga kami...”