Alkisah di suatu negara jelata, di
sebuah perusahaan ternama. Datang seorang lelaki, berpakaian rapi, berumur
sekitar empat puluhan tahun ke Kantor Pusat perusahaan tersebut, niatnya ingin
menemui Kepala Bagian Es De Em. Ia sudah berada di ruangan tersebut sejak pukul
tujuh tiga puluh menit sedangkan jam masuk kantor pukul delapan tepat, sehingga
dengan sabar ia harus menunggu.
Ia memandang menyusuri setiap sisi
ruangan, satu-satu ia amati, orang berbicara di telepon, kalender, secangkir
teh, orang hilir mudik, berkas yang menumpuk, jam dinding. Kepalanya
berputar-putar selaras dengan pandangan matanya. Sebenarnya ia sangat tidak
peduli dengan apa yang dilihatnya di ruangan tersebut. Di dalam rak kepalanya
berantakan sekian banyak masalah dan masih samar-samar terdengar saran sang
istri yang menhantarkannya hingga ke ruangan tersebut.
“Coba saja dulu, pak, kali aja bapak-bapak yang di atas ada
kebijakan.”
“Ada kebijakan gimana, bu, la wong
aturannya sudah jelas, ibu kan juga sudah tahu. Bapak kerja di ‘Bhakti Penuh’,
ya harus terima segala konsekuensinya, termasuk bersedia ditempatkan di mana
saja di negeri ini.”
“Tapi, itu kok, Si Panjul bisa balik
lagi ke sini, Si Pe’ah juga, enak bener...”
“Ya, kebetulan saja, nasibnya baik, tapi
entar juga dipindah lagi. Sudahlah,
ibu sabar saja dan selalu berdoa, semoga Yang Kuasa memberikan yang terbaik
untuk bapak, untuk keluarga kita.”
Awalnya lelaki setengah baya tersebut
tidak begitu menghiraukan perkataan istrinya, karena kalau dibandingkan dengan
beberapa pegawai lain ada yang jarak antara tempatnya bekerja dan rumah tempat
tinggal lebih jauh darinya, walaupun banyak juga yang lebih dekat. Sampai suatu
saat ketiga anaknya jatuh sakit, istrinya kepayahan mengurusinya, belum lagi
kondisi si istri yang hamil tua, calon anak yang keempat. Puncaknya beberapa
hari kemudian lelaki tersebut menerima surat keputusan pindah ke Wilayah Ujung
Bumi, sehingga perjalanan yang harus ditempuh bertambah sekitar delapan jam
lagi. Istrinya semakin hilang kesabaran dan pertengkaran diantara keduanya pun
menjadi sering terjadi. Kondisi inilah yang memaksa lelaki tersebut
memberanikan diri mendobrak aturan, menerjang prinsip dan konsistensi yang
sekian lama ia junjung tinggi.
Sebenarnya ia malu dan benar-benar
merasa bersalah berada di ruangan tersebut. Entah bagaimana nanti Bapak Kabag
Es De Em mencacinya, tidak taat aturanlah, tidak memiliki integritaslah...,
yang jelas apapun ocehan dan keputusan dari beliau nanti akan ia terima dan
disampaikan kepada istri tercintanya yang menunggu di rumah, pikirnya.
“Selamat pagi, pak!”
Lelaki tersebut kaget tersadar dari
renungannya, sambil menyambut jabatan tangan lelaki gemuk di depannya.
“Ee, pa pa gi, pak!”
“Pak siapa?”
“Jujur Setiadi, Pak!
“Gimana,
ada yang bisa saya bantu...” sambil mengeluarkan sebatang rokok dari
kemasannya, sejurus kemudian asap sudah mengepul membias slogan bertuliskan
“Terima Kasih Anda Tidak Merokok Di Ruangan Ini” yang menempel di tembok
belakang kursinya.
“Maaf, pak, sebelumnya, saya sudah tahu
aturan tentang perpindahan pegawai di perusahaan ini, maaf saya lancang,
tetapi...”
“Kenapa, bapak ingin usul pindah ke
tempat tinggal, satu kota dengan orang tua atau tempat kelahiran?”
“Ee, iya, pak, usul pindah sesuai tempat
tinggal, pak!”
“Yang keputusan kemarin, bapak kena?”
“Ya, pak,”
“Nah, lo..., dari mana ke mana?”
“Dari Kota Rantau Jauh ke Wilayah Ujung
Bumi, pak.”
“Tempat tinggal sampeyan, dimana?”
“Di Kota Hidup Damai, pak.”
“Waduuh..., kenapa sampeyan gak usul kemari
dari kemarin-kemarin, sebelum keputusan pindah keluar?” menghisap dalam rokok
yang kini diapitnya diantara jari lalu dihembuskan perlahan.
Tersentak, kaget, lalu berkata.
“Maaf, pak, bukannya aturan tentang hal
tersebut di perusahaan kita sudah jelas,”
“Pak Jujur..., Pak Jujur..., aturankan
dibuat untuk dilanggar dan tidak saklek
sifatnya, masih bisa dinegosiasikan, kaya’
sampeyan gak tahu aja...”
“Maaf, pak, saya benar-benar tidak tahu
akan hal tersebut,” terdiam sebentar, lalu melanjutkan,
“Berarti, termasuk Pak Panjul dan Pak Pe’ah
juga, mereka datang ke sini menemui bapak?”
“Lah, iya..., yang sekarang di Hidup
Damai kan?”
Sedikit bingung, diiakannya dengan
mengangguk.
“Pak Jujur kemana aja, sih? Kita ini di negeri jelata, pak, bukan di negeri kayangan
tempat tinggal para dewa...”
“Pak Jujur datanglah kemari, utarakan
keluhan bapak, ya..., sambil bawa buah tanganlah, biar terlihat sopan dan akrab,”
“Buah tangan, oleh-oleh maksudnya?”
“Ya.., yang jelas bisa buat kami yang di
sini jadi mempertimbangkan usul bapaklah, bapak gitu aja kok ditanyain...” sambil sedikit bersungut,
mencolek tangan Pak Jujur dengan telunjuknya.
“Jadi karena tidak ada usul dari bapak
sebelumnya, berarti bapak orangnya bisa nerima dan mau dipindah di mana saja, makanya
bapak kami pindah ke Ujung Bumi,”
“Bapak sombong, sih..., kalau yang lain pada akrab main kemari,”
Walau suasana di ruang tersebut terlihat
ramai, tetapi Pak Jujur merasakan hening. Berapa kali ia menghembus nafas
panjang, berat dan meratap. Kembali ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Maaf, pak, jadi saya gimana? Ada kemungkinan untuk dapat
dikabulkan usul saya?”
“Ya, bisa, sih, saya pertimbangkan, tapi ya..., tidak bisa sekarang Pak Jujur,
ya..., sekitar empat atau lima tahun lagi lah...”
Ruang menjadi begitu sepi, entah apa
lagi yang diucapkan lelaki gemuk berbatas meja di depan Pak Jujur, ia hanya
melihat mulutnya saja yang komat-kamit.
Pandangannya nanar, mengembara sampai pada
sebuah tulisan di sudut ruangan “Bekerjalah Dengan Ikhlas dan Jujur, Keluarga
Anda Menanti”, dengan latar belakang halaman rumahnya, terlihat istri dan
anak-anaknya berpelukan, menangis, menjulurkan tangan, berusaha menggapai,
begitu jauh...