Rabu, Mei 08, 2013

Rumus Tersulit Dari Orang Tua

Tahun 2012 dan nampaknya merambat ke tahun 2013, menjadi tahun perceraian para artis Indonesia. Berita tak terduga tentang gugatan cerai sering kita dengar dari media. Banyak masyarakat terheran-heran, kaget, menyaksikan berita salah satu infotainment stasiun televisi Jamal Mirdad dan Lydia Kandou sedang dalam proses perceraian misalnya. Lah, bagaimana bisa, la wong mereka akur-akur saja kok selama ini, umur pernikahan mereka juga tidak bisa dikatakan singkat, 27 tahun! Begitu juga dengan pasangan artis lain, seperti Vena Melinda dengan Ivan Fadilla, Katon Bgaskara dengan Ira Wibowo, Donny Damara dengan Vita Maului Amanda dan kasus terakhir yang paling spektakuler adalah Camelia Malik dengan Harry Capri yang gugatan cerainya disampaikan bertepatan dengan 25 tahun masa pernikahan mereka.

fiksi.kompasiana.com

Ditayangkan dalam suatu kesempatan, mereka masih bersama, mesra berdua, saling memberikan pujian, malah memberikan tips rumah tangga rukun dan langgeng. Benar-benar terlihat mereka adalah pasangan yang serasi dan layak untuk dijadikan panutan. Sebagian masyarakat malah ada yang iri dengan kelangsungan rumah tangga mereka yang adem ayem. Lalu kemudian secara tiba-tiba mereka bercerai. 

                                                                                                                                                              www.reddit.com
Jangan ditanya bagaimana indahnya hubungan pra nikah dan masa-masa awal pernikahan, itu telah kuno untuk dibahas. Analisa saja bagaimana mereka dapat mempertahankan rumah tangga yang nampaknya bahagia selama lebih dari sepuluh tahun. Umur pernikahan mereka sudah lama, sudah sampai generasi ketiga alias sudah bercucu. Ya, saya kira kita semua setuju kalau mereka telah dewasa dalam menata rumah tangga. Sudah terlalu biasa dalam mengatasi masalah-masalah kacangan. Sudah kapalan melewati romantika cemburu. Seharusnya mereka sudah tertempa cukup lama dalam mengatasi setiap masalah keluarga. Bukan zamannya lagi untuk mengurusi hal yang begituan. Kata sayang dan cinta mungkin sudah menjadi hal yang biasa diantara pasangan ini. Atau mungkin bukan sesuatu yang istimewa, seperti halnya kata-kata yang indah pada waktu dulu. Jadi saya menganggap ucapan klise sayang dan cinta, seharusnya lebih jauh dimaknai dari hanya sekedar ucapan. Dan sewajarnya kulit pembungkusnya bukan masanya lagi untuk diperdebatkan. Sepantasnya meraka telah mencapai fase finishing. Jangan lagi mempermasalahkan bentuknya yang bengkok sebelah atau tidak rata dibagian depan atau belakangnya. Jadi makna terdalamnya adalah laporan pertanggungjawaban diri masing-masing. Bagaimana suami mempertanggungjawabkan tugasnya dan dengan senyum menikmatinya, begitu juga dengan sang istri.

Lah, trus, kalau mau cerai juga gimana? Nah, ini yang membingungkan, karena ada penerapan rumus tersendiri dari orang tua yang tidak pernah dimengerti, khususnya sang anak. Karena setiap kali ditanya alasannya kenapa bercerai, masing-masing pihak bertutur kalau mereka pada dasarnya masih saling menyayangi dan saling mencintai, kami sangat sedih untuk memutuskan ini (cerai).

                                 twitter.com
Nah, yang seperti ini tidak masuk ke nalar sang anak. Masih saling cinta, saling sayang, tidak mau pisah, tetapi masih dipilih juga perceraian. Anak yang paling pintar sekalipun akan serius berpikir, sungguh ini rumus tersulit dari rumus manapun yang pernah ia pelajari. Lalu kenapa juga orang tua menciptakan rumus yang sulit yang hanya diketahui oleh mereka sendiri serta mengorbankan anak-anak mereka untuk berpikir keras menjawabnya. Mungkin inilah penyakit menahun orang tua, egois. 



Rabu, April 17, 2013

Barang baru

Suatu pagi yang cerah, 
di hari minggu pada bulan yang basah. 
Di sebuah rumah mewah, 
di kawasan perumahan elite ibu kota.

Gesit tangan Partiyem mengolah hidangan. 
Mulai dari kue kering untuk di dalam toples, makanan di piring-piring kecil, hingga minuman ringan.

Semua itu mudah bagi Partiyem. 
Ia dapat memasak makanan kota sampai sekedar tempe bacem. 
Saking mahirnya ia dapat beratraksi sambil merem. 
Ia lakukan dengan tenang dan tetap kalem. 
Hebat Partiyem.

Ia sudah delapan tahun menjabat pembantu rumah tangga di rumah Nyonya Ningsih. 
Janda cantik beranak satu berkulit putih. 
Partiyem kerasan tinggal di sini, 
karena apa yang diminta Partiyem, seringnya dikasih. 
Tetapi wajar saja, karena Partiyem orangnya rajin sehingga rumah selalu terlihat bersih.

Selesai. Sumringah Partiyem melakukan atraksi. 
Dengan sigap dan santai ia berlenggok berjalan menuju sebuah meja panjang yang hampir penuh berisi perhiasan dan tentu bukan imitasi. 
Iapun langsung mempersilakan dengan sedikit basa-basi.

Arisan perhiasan menjadi agenda rutin lima ibu muda ini. 
Para wanita karir yang memiliki usaha yang mumpuni. 
Bagi mereka harta adalah istimewa. 
Status keluarga tidaklah masalah. 
Suami bisa disewa, yang penting bahagia, tidak perlu yang setia.

Sekarang acaranya sudah bebas, 
setelah tadi arisan didapat oleh Jeng Paras.

Wanita berambut warna emas sebahu memulai wacana, 
menyombongkan barang barunya yang dapat membuat terpana.

“Aduh, Jeng..., bodinya mulus, mesinnya masih bagus, waktu itu gue dapetin di Lebak Bulus, pokoknya maknyus...,”
“Lah, yang lama, Jeng..., sudah dihapus?”
“Ah, yang lama bosen, itu juga gue dapetin seken”

“Ih, Jeng Mira, yang dapet di Lebak bulus diumbar, mending eke, bodinya yang lebar, kalo sudah dibuat duduk, bikin konsentrasi buyar, trus kalo sudah tuas persnelingnya diputar, bikin jantung berdebar,”

“Ha ha ha..., Jeng Shinta, mobil balap ukuran jumbo, ya? Kalo saya, sih, wajar dimiliki yang kaya kaya’ saya. Habis yang dulu sudah gak ada daya, jadinya banyak makan biaya. Lah, kalo yang sekarang, saya punya kuda troya, pokoknya bisa dibuat beragam gaya,”

“Kalo Jeng Ningsih, gimana, nih, sudah dapet yang baru, belum?” tanya wanita yang tadi baru dapet, dengan senyum dikulum.
“Kalo saya, sih, maklum, lah wong yang kemarin aja masih ranum,”sambil senyum.

“Waduh, Jeng..., kalau saya, gak sembarang cari yang baru, pokoknya gak mau terburu-buru,”
“Saya maunya barang yang sempurna, yang bisa untuk segala suasana,”
“Soalnya bercermin dari barang lama, karena sudah kepala lima, trus jadi gak bisa tahan lama, dipaksain..., eh, malah koma,” celoteh pemilik rumah, sambil ngemil kurma.

Partiyem yang sedari tadi nguping di ruang samping jadi pusing. 
Maklum, Partiyem orang kampung yang dulu hanya makan kangkung. 
Mana tahu ia model mobil baru yang baru dibahas begitu seru di ruang tamu bercat biru.

Zaman sudah semakin canggih, sudah banyak ragam mobil dengan kemampuan tinggi, mampu dibeli. 
Dari yang umurnya matang, sampai yang masih bujang. 
Dari yang lokal, sampai internasional.

Kamis, April 11, 2013

Perjalananku kali ini

Ada beberapa faktor hingga keputusan untuk menempuh perjalanan dengan mengendarai motor kuambil. Begitu juga untuk kali ini. Aku harus yakin tanpa ragu, berbekal doa dan percaya diri, kuberangkat. Alhamdulillah, perjalanan pulang pergi kulalui bisa dikatakan lancar, hanya malam dan hujan hingga perjalanan memakan waktu lebih lama setengah sampai satu jam dari waktu normal.

Ada beberapa pelajaran yang kuambil dari perjalananku numpak motor :
1.      Jangan ragu untuk menentukan pilihan. Dalam hal ini pilihan antara naik motor atau mobil. Karena dengan yakin, kita dapat berkendara dengan percaya diri, boleh ngebut tetapi tetap berhati-hati. Jadinya kita lebih berkonsentrasi, karena tidak ada keraguan yang merusaknya. Perjalanan dapat enjoy walau dengan kecepatan tinggi. Dengan yakin, kita bisa lebih prepare, lalu pasrah berserah kepada yang Kuasa.
2.    Kesimpulan atas pandangan mata tidaklah akurat. Karena kemampuan mata kita untuk melihat lalu menilai sesuatu sangat terbatas. Pernyataan tersebut bercermin dari pengalamanku memperkirakan cuaca. Sebelum melaju, di langit nun jauh di sana, ke arah tujuanku, kulihat tiada mendung, cerah. Rupanya aku cukup beruntung, benakku menduga perjalananku akan lancar. Tetapi setelah satu jam lebih perjalanan, tetes-tetes hujan mulai menabrak lajuku dan warna langit mengarah tujuanku, gelap. Setengah jam kemudian tumpah ruah hujan turun. Langit kini rata warnanya, putih keabu-abuan. Kembali dangkal pandanganku mencerna. Wah.., hujan bakal rata dan lama! Benar saja, hujan derasnya lama, tetapi tidak pake’ rata. Karena lebih kurang satu setengah jam menanti reda, aku putuskan untuk menerobos ramai guyur hujan. Sekitar lima menit berlalu..., e latalah, di sini tidak hujan rupanya. Lagi-lagi mataku tertipu. Aku berkesimpulan, sungguh Engkau Maha Besar, ukuran bumi saja mataku tak bisa menjangkaunya, jauh dari alam semesta ini. Dan yang ke-
3.     Begitu sempurnanya Engkau ciptakan tubuh ini. Selama beberapa jam, bola mataku bebas menyentuh debu, binatang-binatang kecil yang beterbangan, air hujan dan hembusan angin kencang, tetapi alhamdulillah masih berfungsi dengan baik, tetap dapat kugunakan dengan normal. Lantas kemana debu dan benda-benda asing lain yang singgah di mataku? Rupanya mata memiliki selaput bening dan air mata yang melindungi dari kotoran yang masuk. Lama-kelamaan kotoran tadi mengumpul di sisi pinggir mata, kiri, kanan atau bawah mata. Maaf kalau kusedikit jorok menggambarkannya. Kotoran tadi mengumpul bersama dengan tahi mata atau belek. Warnanya masih sama, dominan hitam dan dengan mudah dapat kita ambil sendiri dengan cutton bud atau sapu tangan. Coba kalau mata kita buatan manusia. Cak pempek yang diadon oleh wong Palembang misalnyo. Dak bepeker duo kali, langsung kucocok pake’ gerpu, trus kuembat, cacam cacam..., lemaknyo.., he..he...he...

Terakhir, selalu berdoa kepada Allah agar diberikan kelancaran dan kemudahan, diberikan perlindungan dan terhindar dari bala’ dan marabahaya untuk kita dan keluarga yang kita tinggalkan. Tetaplah leksanakan shalat, jika telah masuk waktunya hanya lima belas menit berhenti sejenak, sekalian beristirahat.

Lalu terakhir sekali. Jangan sombong. Menyalip, ngebut, bukan untuk hebat-hebatan dan bukan kita yang paling kencang larinya. Kita menyalip memang kita tepat waktunya untuk menyalip. Jadi kembali ke tujuan awal. Kita ngebut dan menyalip memang kita perlu itu dan waktunya pas. Sehingga laju motor kita masih terarah. Boleh cepat asal selamat, opo to...

Kamis, Februari 21, 2013

Bidadari Langit


Aku merebahkan diri di rerumputan empuk, di bawah pohon rindang berbuah lebat, berwarna merah muda. Mata jernihku begitu riang melompat-lompat pandang dari satu buah ke buah lainnya, dari satu tangkai bunga ke bunga lainnya. Bentuk dan warna mahkotanya begitu serasi. Jari-jari tanganku berangkul membentuk bantal menahan kepalaku.
Alamku kini begitu indah dan wangi, terlebih di taman ini. Kuhirup napas dalam dan perlahan. Tanpa perintah, kelopak mataku kini merapat, tidak mau ketinggalan menikmati aroma mewangi merasuk mulai dari lubang hidung, tenggorokan, dada hingga paru-paru. Kelelahanku terbayar sudah, selepas bermain dengan teman sebayaku. Aku sangat senang bermain berlama-lama dengan mereka. Mereka teman yang baik dan juga memiliki paras yang apik, sama sepertiku. Jika kami semua berkumpul, terlihat seperti playgroup atau taman kanak-kanak.
Kalau diusiakan, aku berumur sekitar empat tahun, mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-temanku, karena tinggi badan kami yang hampir sama.
Aku juga selalu bahagia menetap di alamku kini. Semua yang kuinginkan selalu tersedia. Jika aku lapar, maka tangkai-tangkai pepohonan akan merunduk mempersembahkan buahnya untuk kumakan. Sesudahnya aku akan meraup aliran air susu yang mengalir di bawahnya dan meminumnya. Walaupun bermain seharian, makan dan minum seenaknya, tetapi aku tidak pernah terserang penyakit, fisikku selalu segar bugar.

***

Udara di sini begitu sejuk tetapi tetap hangat. Angin bermain bersama burung-burung yang berjingkrak di ranting pepohonan, membawa beberapa helai masa laluku dan merajutnya bersama mimpi-mimpiku dan cerita teman bermainku.
Yah, aku ingat kalau aku pernah merasa kesakitan yang mendalam lalu pandanganku menjadi gelap, hingga aku dibangunkan kembali. Aku bak roda berputar di sebuah pabrik, melewati beberapa proses, sampai akhirnya aku di tempatkan di alam yang indah sekarang.
Rajutan ingatanku kini mulai sempurna. Aku memiliki ayah dan ibu yang kuanggap tidak sepenuhnya menyayangiku. Mereka lebih mementingkan karir dan pekerjaannya dibanding mengurusiku. Lama-lama aku bosan bersama perempuan yang biasa kupanggil bibi. Dia juga selalu tidak sabar dan sering memarahiku.
Tetapi pagi itu aku gembira, karena kali ini bibi baik mengajakku ke pusat perbelanjaan. Aku senang melihat barang-barang baru dipajang. Semua bisa kusentuh dan kucium. Dan biasanya ada beberapa yang diperbolehkan bibi untuk kubawa pulang. Aku juga sangat senang menaiki eskalator, karena pada saat itu tubuhku akan dibawanya bergerak naik atau turun. Sampai suatu saat bibi kulihat sumringah dan senyum-senyum dikulum ketika ada lelaki bersamanya. Jelasnya aku tidak tertarik di sisi bibi. Aku melongo, pandanganku tertuju pada balon warna-warni, berlenggak-lenggok. Tanpa sadar aku sudah berada di sisi pagar pembatas lantai tiga. Dari sini jelas kulihat ratusan balon warna-warni lurus dengan arah pandangku. Sekilas kulihat talinya erat mengikat di lantai dasar. Sekejap keinginanku memuncak memilikinya, nantinya dapat kusombongkan dengan Nina, teman bermainku. Tanganku berusaha meraihnya dan kakiku memanjat naik pagar pembatas. Jemari tangan kananku terasa semakin dekat dengan balon warna-warni. Pikirku hanya riangnya Nina nanti melihat balonku. Sampai aku terkaget, kakiku terpeleset. Aku terjun. Kepalaku terasa begitu sakit membentur lantai, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Lain lagi apa yang dikisahkan Theresia beberapa waktu lalu kepada kami. Entah kenapa pada suatu malam ibunya mengikat erat tangannya lalu menutup mulutnya dengan lakban. Theresia melihat kedua adiknya juga diperlakukan sama dengannya.
“Kami meronta dan berteriak sebisanya. Kemudian ibuku menyirami dirinya dan kami dengan air beraroma khas”, sambung Theresia cadel bercerita.
“Ibuku lalu menyulutkan api dan sekejap api mulai menyantap tubuh kami. Kami meronta kepanasan. Aku menggeleparkan tubuhku, sungguh begitu pedihnya daging masak terpanggang, sampai akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi,”
Kami semua mendengar kisah Theresia dengan seksama dan bersedih, tetapi tidak satupun diantara kami yang menitikkan air mata dan bibir kami masih manis tersenyum.

***

Teman lelakiku Anton dan duduk di pojok. Warna kulitnya lebih coklat, namun tetap terlihat manis, ikut membagi dukanya pada saat di alam fana.
Anton anak yang selalu gembira. Ia tidak pernah bersekolah. Ia anak yang bebas. Bermain di jalanan, berlari di tumpukan sampah. Ia tidak pernah memikirkan apakah ia kenyang atau lapar. Tidak perlu repot dengan rutinitas yang mengharuskannya makan di waktu pagi, siang dan malam, yang penting ia bisa bebas bermain seharian.
“Suatu saat ayahku menitipkanku pada seorang lelaki asing. Ayahku meninggalkanku setelah menerima beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari laki-laki itu,” Anton bertutur dihiasi lesung pipinya.
“Esoknya aku dipaksa kerja rodi, mengemis, ngamen atau pekerjaan jalanan lain, dan uangnya harus diserahkan kepada laki-laki tersebut. Aku tidak perduli, aku hidup dan tinggal dengan siapa, ayahku atau bukan, tetapi aku bersedih jika hak bermainku direnggut. Sampai pada suatu sore, ketika aku menyelesaikan jam istirahatku di sebuah gubuk kardus. Setengah sadar aku merasa ada yang menarik celanaku hingga ke betis, lalu aku merasakan sesuatu di selangkanganku menuju anus. Kesadaranku penuh dan bergegas menepis dan membenahi kembali pakaianku. Dengan tangkas lelaki teman ayahku yang sedari tadi menemaniku tidur berusaha menahanku beranjak. Sekuat tenaga aku meronta dan berlari keluar. Jatuh bangun, aku terus berlari sekencang mungkin. Lalu telingaku sayup mendengar suara klakson, dan, brukk...” telapak tangan Anton bergerak memukul keningnya sendiri.
“Benda keras menghantam tubuhku dengan cepat. Aku kesakitan, kepalaku sangat pusing dan pandanganku menjadi gelap.”

***

“Sekarang giliranku bercerita,” pekik gadis imut dan cantik dengan rambut lebat sebahu membuyar khusuk kami.
Ia duduk tepat di samping kananku waktu itu. Aku ingat pada saat ia mulai bercerita, angin sejuk meniup aroma wangi bunga mengusap wajah kami yang putih bersih. Namanya Nurida. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Ida. Sejak umur dua tahun ia sudah ditinggal ibunya. Bapaknya bilang kalau ibunya merantau ke negeri orang, cari uang untuk beli susu Ida. Ida selalu berharap ibunya cepat kembali. Lama kelamaan ia tidak yakin akan harapannya, karena sudah empat tahun berlalu tidak ada kabar dari ibunya.
Bagaimana dengan ayahnya? Yang ia tahu, sejak setahun kepergian ibu, ada beberapa perempuan sering menginap bersama bapak di rumahnya.
“Perempuan-perempuan itulah yang menjadi tumpuan kasih sayang bapak dibanding aku,” ujarnya.
“Untung ada bibi saudara ibuku yang kerap menemaniku, tetapi tidak di malam hari. Engkau tahu kawan, apa yang menjadikanku ada di sini, dapat berkumpul bersama kalian?” begitu sambungnya.
“Sewaktu umurku belum tujuh tahun, ketika suatu saat bapakku dengan ganas menelanjangiku dan menyekap mulutku dengan kekar tangannya. Aku meronta semampuku, tetapi tenaga iblis itu lebih kuat dibandingkan aku. Aku menendang, meninju, menjerit. Lalu aku merasakan sesuatu menusuk kemaluanku. Pedih, sakit, tak tertahankan. Aku menangis, menahan sakit. Bapak tidak mau mengasihiku, malah ia mengancam aku agar tidak melaporkan kepada siapapun atas kelakukan bejat bapakku itu. Hingga akhirnya aku jatuh sakit, karena berkali-kali setan bapak memaksa aku kembali ‘bermain’ dengannya. Di dalam kamar rawat sebuah rumah sakit, akhirnya aku berpisah dengan jasadku.”
Kami semua bengong. Tatapan kami kosong, melotot, menatap Ida.

***

Hewan-hewan bersayap masih saja riang menyanyikan lagu-lagu pantun saling bersahutan. Beberapa helai daun turun manari-nari di hembus angin sepoi sampai ke tanah.
Jika gelap merambat masuk, kami akan melanjutkan mendengar kisah teman-teman lain esok harinya. Begitu banyak ingin aku sampaikan cerita temanku itu. Ada Shasha yang diajak ibunya melompat ke sungai yang deras, dari atas jembatan. Beda lagi cerita Arif. Akibat tetangganya bermusuhan dengan bapaknya, malah si Arif yang dihabisi nyawanya. Ia dipisahkan dari ruhnya dengan dipukul martil dan dibanting-banting, lalu saat meregang nyawa dengan biadabnya tetangganya mengubur Arif.
Sungguh aku tidak dapat mengisahkan kembali cerita duka teman-temanku. Begitu banyak yang aku dengar dan aku coba ingat. Dan setiap kali kami berkumpul, aku selalu menemukan wajah-wajah baru. Lama kelamaan aku kesulitan juga menghitungnya, menentukan berapa jumlahnya. Tetapi yang dapat aku pastikan dan kusampaikan kepada kalian, mereka berwajah berseri-seri dan beraroma wangi. Dan mengapa suara kami selalu parau ketika melantunkan ucapan “Ayah, ibu, tolong jaga kami...”

Rabu, Februari 13, 2013

BUKAN NEGERI PARA DEWA



Alkisah di suatu negara jelata, di sebuah perusahaan ternama. Datang seorang lelaki, berpakaian rapi, berumur sekitar empat puluhan tahun ke Kantor Pusat perusahaan tersebut, niatnya ingin menemui Kepala Bagian Es De Em. Ia sudah berada di ruangan tersebut sejak pukul tujuh tiga puluh menit sedangkan jam masuk kantor pukul delapan tepat, sehingga dengan sabar ia harus menunggu.
Ia memandang menyusuri setiap sisi ruangan, satu-satu ia amati, orang berbicara di telepon, kalender, secangkir teh, orang hilir mudik, berkas yang menumpuk, jam dinding. Kepalanya berputar-putar selaras dengan pandangan matanya. Sebenarnya ia sangat tidak peduli dengan apa yang dilihatnya di ruangan tersebut. Di dalam rak kepalanya berantakan sekian banyak masalah dan masih samar-samar terdengar saran sang istri yang menhantarkannya hingga ke ruangan tersebut.
“Coba saja dulu, pak, kali aja bapak-bapak yang di atas ada kebijakan.”
“Ada kebijakan gimana, bu, la wong aturannya sudah jelas, ibu kan juga sudah tahu. Bapak kerja di ‘Bhakti Penuh’, ya harus terima segala konsekuensinya, termasuk bersedia ditempatkan di mana saja di negeri ini.”
“Tapi, itu kok, Si Panjul bisa balik lagi ke sini, Si Pe’ah juga, enak bener...”
“Ya, kebetulan saja, nasibnya baik, tapi entar juga dipindah lagi. Sudahlah, ibu sabar saja dan selalu berdoa, semoga Yang Kuasa memberikan yang terbaik untuk bapak, untuk keluarga kita.”
Awalnya lelaki setengah baya tersebut tidak begitu menghiraukan perkataan istrinya, karena kalau dibandingkan dengan beberapa pegawai lain ada yang jarak antara tempatnya bekerja dan rumah tempat tinggal lebih jauh darinya, walaupun banyak juga yang lebih dekat. Sampai suatu saat ketiga anaknya jatuh sakit, istrinya kepayahan mengurusinya, belum lagi kondisi si istri yang hamil tua, calon anak yang keempat. Puncaknya beberapa hari kemudian lelaki tersebut menerima surat keputusan pindah ke Wilayah Ujung Bumi, sehingga perjalanan yang harus ditempuh bertambah sekitar delapan jam lagi. Istrinya semakin hilang kesabaran dan pertengkaran diantara keduanya pun menjadi sering terjadi. Kondisi inilah yang memaksa lelaki tersebut memberanikan diri mendobrak aturan, menerjang prinsip dan konsistensi yang sekian lama ia junjung tinggi.
Sebenarnya ia malu dan benar-benar merasa bersalah berada di ruangan tersebut. Entah bagaimana nanti Bapak Kabag Es De Em mencacinya, tidak taat aturanlah, tidak memiliki integritaslah..., yang jelas apapun ocehan dan keputusan dari beliau nanti akan ia terima dan disampaikan kepada istri tercintanya yang menunggu di rumah, pikirnya.

“Selamat pagi, pak!”
Lelaki tersebut kaget tersadar dari renungannya, sambil menyambut jabatan tangan lelaki gemuk di depannya.
“Ee, pa pa gi, pak!”
“Pak siapa?”
“Jujur Setiadi, Pak!
Gimana, ada yang bisa saya bantu...” sambil mengeluarkan sebatang rokok dari kemasannya, sejurus kemudian asap sudah mengepul membias slogan bertuliskan “Terima Kasih Anda Tidak Merokok Di Ruangan Ini” yang menempel di tembok belakang kursinya.
“Maaf, pak, sebelumnya, saya sudah tahu aturan tentang perpindahan pegawai di perusahaan ini, maaf saya lancang, tetapi...”
“Kenapa, bapak ingin usul pindah ke tempat tinggal, satu kota dengan orang tua atau tempat kelahiran?”
“Ee, iya, pak, usul pindah sesuai tempat tinggal, pak!”
“Yang keputusan kemarin, bapak kena?”
“Ya, pak,”
“Nah, lo..., dari mana ke mana?”
“Dari Kota Rantau Jauh ke Wilayah Ujung Bumi, pak.”
“Tempat tinggal sampeyan, dimana?”
“Di Kota Hidup Damai, pak.”
“Waduuh..., kenapa sampeyan gak usul kemari dari kemarin-kemarin, sebelum keputusan pindah keluar?” menghisap dalam rokok yang kini diapitnya diantara jari lalu dihembuskan perlahan.
Tersentak, kaget, lalu berkata.
“Maaf, pak, bukannya aturan tentang hal tersebut di perusahaan kita sudah jelas,”
“Pak Jujur..., Pak Jujur..., aturankan dibuat untuk dilanggar dan tidak saklek sifatnya, masih bisa dinegosiasikan, kaya’ sampeyan gak tahu aja...”
“Maaf, pak, saya benar-benar tidak tahu akan hal tersebut,” terdiam sebentar, lalu melanjutkan,
“Berarti, termasuk Pak Panjul dan Pak Pe’ah juga, mereka datang ke sini menemui bapak?”
“Lah, iya..., yang sekarang di Hidup Damai kan?”
Sedikit bingung, diiakannya dengan mengangguk.
“Pak Jujur kemana aja, sih? Kita ini di negeri jelata, pak, bukan di negeri kayangan tempat tinggal para dewa...”
“Pak Jujur datanglah kemari, utarakan keluhan bapak, ya..., sambil bawa buah tanganlah, biar terlihat sopan dan akrab,”
“Buah tangan, oleh-oleh maksudnya?”
“Ya.., yang jelas bisa buat kami yang di sini jadi mempertimbangkan usul bapaklah, bapak gitu aja kok ditanyain...” sambil sedikit bersungut, mencolek tangan Pak Jujur dengan telunjuknya.
“Jadi karena tidak ada usul dari bapak sebelumnya, berarti bapak orangnya bisa nerima dan mau dipindah di mana saja, makanya bapak kami pindah ke Ujung Bumi,”
“Bapak sombong, sih..., kalau yang lain pada akrab main kemari,”

Walau suasana di ruang tersebut terlihat ramai, tetapi Pak Jujur merasakan hening. Berapa kali ia menghembus nafas panjang, berat dan meratap. Kembali ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Maaf, pak, jadi saya gimana? Ada kemungkinan untuk dapat dikabulkan usul saya?”
“Ya, bisa, sih, saya pertimbangkan, tapi ya..., tidak bisa sekarang Pak Jujur, ya..., sekitar empat atau lima tahun lagi lah...”

Ruang menjadi begitu sepi, entah apa lagi yang diucapkan lelaki gemuk berbatas meja di depan Pak Jujur, ia hanya melihat mulutnya saja yang komat-kamit.
 Pandangannya nanar, mengembara sampai pada sebuah tulisan di sudut ruangan “Bekerjalah Dengan Ikhlas dan Jujur, Keluarga Anda Menanti”, dengan latar belakang halaman rumahnya, terlihat istri dan anak-anaknya berpelukan, menangis, menjulurkan tangan, berusaha menggapai, begitu jauh...

Selasa, Januari 29, 2013

antara maghrib dan isya


image : www.dikutip.com


aku shalat sendiri, berdiri menatap satu

bisu, berantakan, sama pada alasnya
kata-Mu serak di dalam batin
entah khusyuk atau meratap

aku sujud menyentuh bumi
hanya lirih bisik sendiri
inginnya menikmati darah terjun
menabrak kenangan yang jauh tertinggal

biasa kalau keluhku meronta
karena begitu beda maghrib dan isya
hanya hujat yang berusaha merambah
tapi sayang, aku bukan dewa pemahkota kuasa   

aku gontai melangkah, goyah berfirasat
gandeng aku menatap lurus dan tegap berdiri
menjamah keyakinan elok takdir-Mu
walau mata basah meratap takdir

maghrib yang indah lekat di masa
biarlah meranum sampai seminggu
isyakku masih kokoh berdiri
karena ku yakin Engkau membalas syukurku

Selasa, Januari 15, 2013

Penulis munafik

Mungkin kalian telah mengenal aku, tentunya kalau kalian juga seorang penulis. Menulis adalah jiwaku. Seperti darah yang selalu mengalir, maka tulisanku pun tak pernah berhenti mengalir. Entah kenapa, seperti ada sebongkah batu besar yang selalu ingin ku keluarkan berwujud tulisan. Apapun yang ingin ku tulis, maka sesegera mungkin ujung penaku atau ujung jariku menekan tuts keyboard mengeksekusinya, karena apabila terlalu lama, maka apa yang ingin aku tulis tadi buyar, perlu waktu dan keadaan tertentu untuk menatanya kembali. 

Sesuatu hal yang ingin ku ketahui misalnya, maka jika aku telah menemukan jawabannya, bersama itu pula ku sampaikan melalui tulisanku, walau sekedar copy paste dan edit seadanya. Aku ingin apa yang telah ku ketahui, juga diketahui oleh orang lain. Karena itu, tulisanku sebagian besar ku sampaikan melalui blog ku, website penyedia kiriman artikel anggotanya dan media cetak. Aku sangat senang jika banyak yang mengomentari tulisanku, karena berarti tulisanku telah dibaca. Akupun berusaha agar tulisanku terlihat menarik, sehingga pembaca setia tulisanku selalu penasaran dan selalu ingin membacanya hingga akhir tulisan. 

Oh, ya, mungkin kalian ada yang belum tahu nama lengkap atau nama asliku, karena dalam setiap tulisanku biasanya nama penaku "Dianara" atau inisialku "ATH" yang kucantumkan. Aku terlahir dengan nama Ardian Trisna Hanggara. Entah berapa banyak hasil karyaku, begitu banyak untuk ku hitung. Mulai dari cerpen, puisi, opini dari masalah sosial dan tulisan tentang kisah hidupku. Beberapa darinya ada yang diterbitkan berbentuk buku. Walau hanya kumpulan cerpen bersama dengan penulis lain, tetapi itu cukup membuatku senang. 

Senang? Sebenarnya tidak juga, karena ada sesuatu perasaan yang mengganjalnya. Begitu banyak artikel, opini yang kutulis, tetapi apakah pesan yang ingin kusampaikan dalam tulisan tersebut ku realisasikan dalam kehidupanku? Aku menulis tentang korupsi dan gratifikasi, tetapi pada suatu keadaan, aku memberikan uang damai kepada aparat yang sempat menilangku ketika aku bermotor tidak memakai helm. Aku menulis tentang kotornya negeriku, sampah berserakan, malu dengan masyarakat yang tidak berbudaya hidup bersih, sedangkan aku merokok dan membuang puntungnya sembarangan. Aku juga menulis cerpen keluarga tentang kasih sayang dan pengorbanan seorang ayah kepada anak semata wayangnya yang mengidap penyakit leukimia. Begitu sabar dan tegarnya ia menemani anaknya hingga akhir hayatnya. Tentu tidak sama halnya dengan aku sebagai bapak yang terkadang berlaku kasar kepada anakku, tidak sabar dan jauh dari pesan yang ingin kusampaikan pada cerpen itu, yaitu seorang ayah yang dapat menjadi panutan. 

Lalu, apakah aku sebagai penulis yang munafik? Entahlah... Aku paham benar ilmu menulis, sehingga tulisanku selalu menjadi menarik. Tetapi aku masih perlu waktu untuk belajar menata hidupku agar menjadi penulis dengan jati diri yang baik. Untuk kali ini biarlah pesan-pesan selalu kusampaikan di dalam tulisanku, karena aku sebagai penulis munafik berharap pembaca tulisanku bersama belajar bersamaku menuju kehidupan yang lebih baik.  

Senin, Januari 14, 2013

Membagi istri

Siapa yang tidak tergoda dengan Yurike, atau biasa dipanggil Ike. Di lingkungan sini sudah begitu banyak warung, namun mengapa pembeli selalu hanya ingin ke warungnya Ike. Padahal sama saja, malah sebagian barang yang dijual sedikit mahal dari warung di sekitarnya. Jadi karena apa? Ya, itu tadi, si Ike yang membuat para pembeli inginya belanja sambil dapat melihat Ike yang cantik. 

Ike tidak perawan lagi. Anaknya satu, berumur sekitar 5 tahun. Suaminya ada. Bodinya masih seksi. Ike selalu berpakaian yang dapat menggoda mata untuk meliriknya. Dandanannya juga merangsang penglihatan. Mulai dari kosmetik yang menghias wajah cantiknya, parfumnya dan perhiasan yang menempel di tubuh putih bersihnya. Rambutnya pun tidak berwarna hitam, tetapi oranye, kukunya juga berwarna oranye.

Ike memang sosok wanita dengan fisik yang sempurna. Tidak hanya menurut suaminya, tetapi juga disadari oleh lelaki lain. Seorang wanita yang cantik dan seksi. Tidak hanya dapat dinikmati oleh suaminya, tetapi juga oleh lelaki lain. Parman suaminya, merasa senang istrinya berpenampilan seksi di mata lelaki lain. Ia bangga. Tentu ia ingin menyombongkan istrinya dengan kulit begitu bersih dan wangi, dengan lekuk-lekuk bagian tubuhnya yang sayang kalau dilewatkan mata memandang.

Tetapi, sudah berjalan 7 tahun umur pernikahan mereka, Parman bosen juga. Awalnya sosok Ike begitu didambakannya. Tak habis rasanya menjamah jengkal demi jengkal tubuhnya, menikmati setiap malamnya. Namun, kalau setiap hari makannya ayam goreng terus, walau enak, ya tetap bosen juga. Ditambah lagi Ike selalu berpenampilan lusuh di depan suaminya, berbeda 180 derajat ketika ia di luar rumah. Ike senang atas pujian suaminya, tetapi ia lebih senang jika banyak orang lain yang menyanjungnya. Ike masih saja cantik bagi orang lain, tetapi tidak bagi suaminya sekarang.

Sekarang tinggal menunggu waktu suaminya menceraikan si Ike. Doni, seorang perjaka tongtong, bertubuh tegap dan berwajah lumayan telah terpikat kecantikan si Ike. Pikiran Doni indah melayang bersama tubuh Ike, peduli amat dengan Parman dan anaknya.

-ooOOoo-

Bahagianya Doni lima tahun lalu. Anak dari permainan memikat mereka kini sudah berumur 4 tahun. Apa yang dirasakan Doni sekarang sama dengan yang dirasakan Parman dulu. Ike tinggal menunggu waktu untuk diceraikan Doni, lalu telah siap Dicky yang beranjak melamarnya.   

Senin, Januari 07, 2013

Pemenuhan nafkah batin, antara istri dan suami

Pemenuhan nafkah batin terkadang menjadi perdebatan antara suami dan istri. Karena pada saat-saat tertentu pemenuhan kebutuhan tersebut terkadang menjadi sulit, entah dengan alasan sedang capek, gak mut, banyak pikiran dan alasan lainnya. Suami dan istripun menjadi saling menyalahkan dan inginnya diri sendiri yang mau dimengerti.

Mungkin artikel dari seks-islam.blogspot.com berikut dapat menjadi rujukan ketentuan yang benar menurut syariat islam. Semoga bermanfaat. 

ahmad-roni.blogspot.com


Kewajiban Istri Terhadap Suami

Pertama-tama dikaji dulu kewajiban istri terhadap hasrat suaminya, yang dinyatakan secara jelas dalam beberapa hadis:

Sabda Rasulullah SAW,
Apabila seorang suami mengajak istri ke tempat tidur (untuk berjima’), dan istri menolak (sehingga membuat suaminya murka), maka si istri akan dilaknat oleh malaikat hingga (waktu) subuh.” (Diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dari Abu Hurairah ra)
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah bersabda,
Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (istri) tetap tidak boleh menolak.” (Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dari Abdullah bin Abi Aufa ra)

Kesimpulan: seorang istri wajib memenuhi hasrat suaminya melebihi kewajibannya yang lain kecuali tentunya perkara fardhu ain.

Kewajiban Suami Terhadap Istri

Ada beberapa ayat/hadis yang menunjukkan bahwa suami itu adalah pemimpin dalam keluarganya, yang tentu saja perlu memenuhi keperluan-keperluan istrinya termasuk dalam perkara hubungan suami istri.

Dari Sulaiman bin Amr bin Al Ahwash berkata;
Telah menceritakan kepadaku Bapakku bahwa dia melaksanakan haji wada' bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bertahmid dan memuji Allah, beliau memberi pengingatan dan nasehat. Beliau menuturkan cerita dalam haditsnya, lantas bersabda: "Ketahuilah, berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka." (H.R. At-Tirmidzi) 
Dalam hadis tersebut disebut beberapa hal:

  • Berbuat baiklah terhadap wanita (istri). Kebaikan suami pada istrinya tentunya adalah termasuk dalam memenuhi hasrat istri
  • Tentang 'janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya', maksudnya seorang suami jangan menyusahkan istrinya yang sudah taat kepadanya. Salah satu kesusahan istri adalah hasratnya yang belum tertunaikan.
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa berbuat baik pada istri adalah perbuatan yang utama, termasuk di dalamnya memenuhi kebutuhan batin sang istri.


Perbandingan kewajiban suami & istri dalam memenuhi hasrat pasangannya:

Secara ringkas, seorang istri memenuhi keinginan suaminya sebagai seorang pengikut yang taat kepada suaminya, sedangkan seorang suami memenuhi keperluan istrinya adalah dalam posisi sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berkasih sayang.

Seorang istri dalam memenuhi hasrat suami, pertimbangannya relatif sederhana:
  • ketaatannya pada Allah terutama fardhu 'ain
  • ketaatannya pada suami
Jadi selama tidak bertentangan dengan perkara fardhu 'ain, seorang istri langsung menunaikan kewajibannya tersebut.

Sedangkan seorang suami dalam memenuhi hasrat istrinya, pertimbangannya lebih banyak:
  • ketaatannya pada Allah terutama fardhu 'ain
  • posisi sebagai pemimpin & pendidik keluarga
  • kewajibannya terhadap masyarakat terutama fardhu kifayah
Jadi dengan demikian seorang suami tidak dapat serta-merta memenuhi hasrat istrinya, karena ada pertimbangan lain. Misalkan sang suami ada kewajiban di luar rumah yang mendesak dalam perkara fardhu kifayah, sehingga tidak dapat segera mengurus istrinya. Dapat juga terjadi istri perlu dididik dengan didiamkan dulu sementara jika ada masalah syariat yang perlu diselesaikan dengan cara didiamkan.

Ringkasan

  • Bagi istri: wajib segera memenuhi kebutuhan fitrah suaminya.
  • Bagi suami: dalam kondisi ringan, yang terbaik bagi suami adalah untuk segera memenuhi kebutuhan fitrah istrinya tersebut.