Rabu, Februari 13, 2013

BUKAN NEGERI PARA DEWA



Alkisah di suatu negara jelata, di sebuah perusahaan ternama. Datang seorang lelaki, berpakaian rapi, berumur sekitar empat puluhan tahun ke Kantor Pusat perusahaan tersebut, niatnya ingin menemui Kepala Bagian Es De Em. Ia sudah berada di ruangan tersebut sejak pukul tujuh tiga puluh menit sedangkan jam masuk kantor pukul delapan tepat, sehingga dengan sabar ia harus menunggu.
Ia memandang menyusuri setiap sisi ruangan, satu-satu ia amati, orang berbicara di telepon, kalender, secangkir teh, orang hilir mudik, berkas yang menumpuk, jam dinding. Kepalanya berputar-putar selaras dengan pandangan matanya. Sebenarnya ia sangat tidak peduli dengan apa yang dilihatnya di ruangan tersebut. Di dalam rak kepalanya berantakan sekian banyak masalah dan masih samar-samar terdengar saran sang istri yang menhantarkannya hingga ke ruangan tersebut.
“Coba saja dulu, pak, kali aja bapak-bapak yang di atas ada kebijakan.”
“Ada kebijakan gimana, bu, la wong aturannya sudah jelas, ibu kan juga sudah tahu. Bapak kerja di ‘Bhakti Penuh’, ya harus terima segala konsekuensinya, termasuk bersedia ditempatkan di mana saja di negeri ini.”
“Tapi, itu kok, Si Panjul bisa balik lagi ke sini, Si Pe’ah juga, enak bener...”
“Ya, kebetulan saja, nasibnya baik, tapi entar juga dipindah lagi. Sudahlah, ibu sabar saja dan selalu berdoa, semoga Yang Kuasa memberikan yang terbaik untuk bapak, untuk keluarga kita.”
Awalnya lelaki setengah baya tersebut tidak begitu menghiraukan perkataan istrinya, karena kalau dibandingkan dengan beberapa pegawai lain ada yang jarak antara tempatnya bekerja dan rumah tempat tinggal lebih jauh darinya, walaupun banyak juga yang lebih dekat. Sampai suatu saat ketiga anaknya jatuh sakit, istrinya kepayahan mengurusinya, belum lagi kondisi si istri yang hamil tua, calon anak yang keempat. Puncaknya beberapa hari kemudian lelaki tersebut menerima surat keputusan pindah ke Wilayah Ujung Bumi, sehingga perjalanan yang harus ditempuh bertambah sekitar delapan jam lagi. Istrinya semakin hilang kesabaran dan pertengkaran diantara keduanya pun menjadi sering terjadi. Kondisi inilah yang memaksa lelaki tersebut memberanikan diri mendobrak aturan, menerjang prinsip dan konsistensi yang sekian lama ia junjung tinggi.
Sebenarnya ia malu dan benar-benar merasa bersalah berada di ruangan tersebut. Entah bagaimana nanti Bapak Kabag Es De Em mencacinya, tidak taat aturanlah, tidak memiliki integritaslah..., yang jelas apapun ocehan dan keputusan dari beliau nanti akan ia terima dan disampaikan kepada istri tercintanya yang menunggu di rumah, pikirnya.

“Selamat pagi, pak!”
Lelaki tersebut kaget tersadar dari renungannya, sambil menyambut jabatan tangan lelaki gemuk di depannya.
“Ee, pa pa gi, pak!”
“Pak siapa?”
“Jujur Setiadi, Pak!
Gimana, ada yang bisa saya bantu...” sambil mengeluarkan sebatang rokok dari kemasannya, sejurus kemudian asap sudah mengepul membias slogan bertuliskan “Terima Kasih Anda Tidak Merokok Di Ruangan Ini” yang menempel di tembok belakang kursinya.
“Maaf, pak, sebelumnya, saya sudah tahu aturan tentang perpindahan pegawai di perusahaan ini, maaf saya lancang, tetapi...”
“Kenapa, bapak ingin usul pindah ke tempat tinggal, satu kota dengan orang tua atau tempat kelahiran?”
“Ee, iya, pak, usul pindah sesuai tempat tinggal, pak!”
“Yang keputusan kemarin, bapak kena?”
“Ya, pak,”
“Nah, lo..., dari mana ke mana?”
“Dari Kota Rantau Jauh ke Wilayah Ujung Bumi, pak.”
“Tempat tinggal sampeyan, dimana?”
“Di Kota Hidup Damai, pak.”
“Waduuh..., kenapa sampeyan gak usul kemari dari kemarin-kemarin, sebelum keputusan pindah keluar?” menghisap dalam rokok yang kini diapitnya diantara jari lalu dihembuskan perlahan.
Tersentak, kaget, lalu berkata.
“Maaf, pak, bukannya aturan tentang hal tersebut di perusahaan kita sudah jelas,”
“Pak Jujur..., Pak Jujur..., aturankan dibuat untuk dilanggar dan tidak saklek sifatnya, masih bisa dinegosiasikan, kaya’ sampeyan gak tahu aja...”
“Maaf, pak, saya benar-benar tidak tahu akan hal tersebut,” terdiam sebentar, lalu melanjutkan,
“Berarti, termasuk Pak Panjul dan Pak Pe’ah juga, mereka datang ke sini menemui bapak?”
“Lah, iya..., yang sekarang di Hidup Damai kan?”
Sedikit bingung, diiakannya dengan mengangguk.
“Pak Jujur kemana aja, sih? Kita ini di negeri jelata, pak, bukan di negeri kayangan tempat tinggal para dewa...”
“Pak Jujur datanglah kemari, utarakan keluhan bapak, ya..., sambil bawa buah tanganlah, biar terlihat sopan dan akrab,”
“Buah tangan, oleh-oleh maksudnya?”
“Ya.., yang jelas bisa buat kami yang di sini jadi mempertimbangkan usul bapaklah, bapak gitu aja kok ditanyain...” sambil sedikit bersungut, mencolek tangan Pak Jujur dengan telunjuknya.
“Jadi karena tidak ada usul dari bapak sebelumnya, berarti bapak orangnya bisa nerima dan mau dipindah di mana saja, makanya bapak kami pindah ke Ujung Bumi,”
“Bapak sombong, sih..., kalau yang lain pada akrab main kemari,”

Walau suasana di ruang tersebut terlihat ramai, tetapi Pak Jujur merasakan hening. Berapa kali ia menghembus nafas panjang, berat dan meratap. Kembali ia memberanikan diri untuk bertanya,
“Maaf, pak, jadi saya gimana? Ada kemungkinan untuk dapat dikabulkan usul saya?”
“Ya, bisa, sih, saya pertimbangkan, tapi ya..., tidak bisa sekarang Pak Jujur, ya..., sekitar empat atau lima tahun lagi lah...”

Ruang menjadi begitu sepi, entah apa lagi yang diucapkan lelaki gemuk berbatas meja di depan Pak Jujur, ia hanya melihat mulutnya saja yang komat-kamit.
 Pandangannya nanar, mengembara sampai pada sebuah tulisan di sudut ruangan “Bekerjalah Dengan Ikhlas dan Jujur, Keluarga Anda Menanti”, dengan latar belakang halaman rumahnya, terlihat istri dan anak-anaknya berpelukan, menangis, menjulurkan tangan, berusaha menggapai, begitu jauh...

2 komentar: