Selasa, Januari 29, 2013

antara maghrib dan isya


image : www.dikutip.com


aku shalat sendiri, berdiri menatap satu

bisu, berantakan, sama pada alasnya
kata-Mu serak di dalam batin
entah khusyuk atau meratap

aku sujud menyentuh bumi
hanya lirih bisik sendiri
inginnya menikmati darah terjun
menabrak kenangan yang jauh tertinggal

biasa kalau keluhku meronta
karena begitu beda maghrib dan isya
hanya hujat yang berusaha merambah
tapi sayang, aku bukan dewa pemahkota kuasa   

aku gontai melangkah, goyah berfirasat
gandeng aku menatap lurus dan tegap berdiri
menjamah keyakinan elok takdir-Mu
walau mata basah meratap takdir

maghrib yang indah lekat di masa
biarlah meranum sampai seminggu
isyakku masih kokoh berdiri
karena ku yakin Engkau membalas syukurku

Selasa, Januari 15, 2013

Penulis munafik

Mungkin kalian telah mengenal aku, tentunya kalau kalian juga seorang penulis. Menulis adalah jiwaku. Seperti darah yang selalu mengalir, maka tulisanku pun tak pernah berhenti mengalir. Entah kenapa, seperti ada sebongkah batu besar yang selalu ingin ku keluarkan berwujud tulisan. Apapun yang ingin ku tulis, maka sesegera mungkin ujung penaku atau ujung jariku menekan tuts keyboard mengeksekusinya, karena apabila terlalu lama, maka apa yang ingin aku tulis tadi buyar, perlu waktu dan keadaan tertentu untuk menatanya kembali. 

Sesuatu hal yang ingin ku ketahui misalnya, maka jika aku telah menemukan jawabannya, bersama itu pula ku sampaikan melalui tulisanku, walau sekedar copy paste dan edit seadanya. Aku ingin apa yang telah ku ketahui, juga diketahui oleh orang lain. Karena itu, tulisanku sebagian besar ku sampaikan melalui blog ku, website penyedia kiriman artikel anggotanya dan media cetak. Aku sangat senang jika banyak yang mengomentari tulisanku, karena berarti tulisanku telah dibaca. Akupun berusaha agar tulisanku terlihat menarik, sehingga pembaca setia tulisanku selalu penasaran dan selalu ingin membacanya hingga akhir tulisan. 

Oh, ya, mungkin kalian ada yang belum tahu nama lengkap atau nama asliku, karena dalam setiap tulisanku biasanya nama penaku "Dianara" atau inisialku "ATH" yang kucantumkan. Aku terlahir dengan nama Ardian Trisna Hanggara. Entah berapa banyak hasil karyaku, begitu banyak untuk ku hitung. Mulai dari cerpen, puisi, opini dari masalah sosial dan tulisan tentang kisah hidupku. Beberapa darinya ada yang diterbitkan berbentuk buku. Walau hanya kumpulan cerpen bersama dengan penulis lain, tetapi itu cukup membuatku senang. 

Senang? Sebenarnya tidak juga, karena ada sesuatu perasaan yang mengganjalnya. Begitu banyak artikel, opini yang kutulis, tetapi apakah pesan yang ingin kusampaikan dalam tulisan tersebut ku realisasikan dalam kehidupanku? Aku menulis tentang korupsi dan gratifikasi, tetapi pada suatu keadaan, aku memberikan uang damai kepada aparat yang sempat menilangku ketika aku bermotor tidak memakai helm. Aku menulis tentang kotornya negeriku, sampah berserakan, malu dengan masyarakat yang tidak berbudaya hidup bersih, sedangkan aku merokok dan membuang puntungnya sembarangan. Aku juga menulis cerpen keluarga tentang kasih sayang dan pengorbanan seorang ayah kepada anak semata wayangnya yang mengidap penyakit leukimia. Begitu sabar dan tegarnya ia menemani anaknya hingga akhir hayatnya. Tentu tidak sama halnya dengan aku sebagai bapak yang terkadang berlaku kasar kepada anakku, tidak sabar dan jauh dari pesan yang ingin kusampaikan pada cerpen itu, yaitu seorang ayah yang dapat menjadi panutan. 

Lalu, apakah aku sebagai penulis yang munafik? Entahlah... Aku paham benar ilmu menulis, sehingga tulisanku selalu menjadi menarik. Tetapi aku masih perlu waktu untuk belajar menata hidupku agar menjadi penulis dengan jati diri yang baik. Untuk kali ini biarlah pesan-pesan selalu kusampaikan di dalam tulisanku, karena aku sebagai penulis munafik berharap pembaca tulisanku bersama belajar bersamaku menuju kehidupan yang lebih baik.  

Senin, Januari 14, 2013

Membagi istri

Siapa yang tidak tergoda dengan Yurike, atau biasa dipanggil Ike. Di lingkungan sini sudah begitu banyak warung, namun mengapa pembeli selalu hanya ingin ke warungnya Ike. Padahal sama saja, malah sebagian barang yang dijual sedikit mahal dari warung di sekitarnya. Jadi karena apa? Ya, itu tadi, si Ike yang membuat para pembeli inginya belanja sambil dapat melihat Ike yang cantik. 

Ike tidak perawan lagi. Anaknya satu, berumur sekitar 5 tahun. Suaminya ada. Bodinya masih seksi. Ike selalu berpakaian yang dapat menggoda mata untuk meliriknya. Dandanannya juga merangsang penglihatan. Mulai dari kosmetik yang menghias wajah cantiknya, parfumnya dan perhiasan yang menempel di tubuh putih bersihnya. Rambutnya pun tidak berwarna hitam, tetapi oranye, kukunya juga berwarna oranye.

Ike memang sosok wanita dengan fisik yang sempurna. Tidak hanya menurut suaminya, tetapi juga disadari oleh lelaki lain. Seorang wanita yang cantik dan seksi. Tidak hanya dapat dinikmati oleh suaminya, tetapi juga oleh lelaki lain. Parman suaminya, merasa senang istrinya berpenampilan seksi di mata lelaki lain. Ia bangga. Tentu ia ingin menyombongkan istrinya dengan kulit begitu bersih dan wangi, dengan lekuk-lekuk bagian tubuhnya yang sayang kalau dilewatkan mata memandang.

Tetapi, sudah berjalan 7 tahun umur pernikahan mereka, Parman bosen juga. Awalnya sosok Ike begitu didambakannya. Tak habis rasanya menjamah jengkal demi jengkal tubuhnya, menikmati setiap malamnya. Namun, kalau setiap hari makannya ayam goreng terus, walau enak, ya tetap bosen juga. Ditambah lagi Ike selalu berpenampilan lusuh di depan suaminya, berbeda 180 derajat ketika ia di luar rumah. Ike senang atas pujian suaminya, tetapi ia lebih senang jika banyak orang lain yang menyanjungnya. Ike masih saja cantik bagi orang lain, tetapi tidak bagi suaminya sekarang.

Sekarang tinggal menunggu waktu suaminya menceraikan si Ike. Doni, seorang perjaka tongtong, bertubuh tegap dan berwajah lumayan telah terpikat kecantikan si Ike. Pikiran Doni indah melayang bersama tubuh Ike, peduli amat dengan Parman dan anaknya.

-ooOOoo-

Bahagianya Doni lima tahun lalu. Anak dari permainan memikat mereka kini sudah berumur 4 tahun. Apa yang dirasakan Doni sekarang sama dengan yang dirasakan Parman dulu. Ike tinggal menunggu waktu untuk diceraikan Doni, lalu telah siap Dicky yang beranjak melamarnya.   

Senin, Januari 07, 2013

Pemenuhan nafkah batin, antara istri dan suami

Pemenuhan nafkah batin terkadang menjadi perdebatan antara suami dan istri. Karena pada saat-saat tertentu pemenuhan kebutuhan tersebut terkadang menjadi sulit, entah dengan alasan sedang capek, gak mut, banyak pikiran dan alasan lainnya. Suami dan istripun menjadi saling menyalahkan dan inginnya diri sendiri yang mau dimengerti.

Mungkin artikel dari seks-islam.blogspot.com berikut dapat menjadi rujukan ketentuan yang benar menurut syariat islam. Semoga bermanfaat. 

ahmad-roni.blogspot.com


Kewajiban Istri Terhadap Suami

Pertama-tama dikaji dulu kewajiban istri terhadap hasrat suaminya, yang dinyatakan secara jelas dalam beberapa hadis:

Sabda Rasulullah SAW,
Apabila seorang suami mengajak istri ke tempat tidur (untuk berjima’), dan istri menolak (sehingga membuat suaminya murka), maka si istri akan dilaknat oleh malaikat hingga (waktu) subuh.” (Diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dari Abu Hurairah ra)
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah bersabda,
Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (istri) tetap tidak boleh menolak.” (Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dari Abdullah bin Abi Aufa ra)

Kesimpulan: seorang istri wajib memenuhi hasrat suaminya melebihi kewajibannya yang lain kecuali tentunya perkara fardhu ain.

Kewajiban Suami Terhadap Istri

Ada beberapa ayat/hadis yang menunjukkan bahwa suami itu adalah pemimpin dalam keluarganya, yang tentu saja perlu memenuhi keperluan-keperluan istrinya termasuk dalam perkara hubungan suami istri.

Dari Sulaiman bin Amr bin Al Ahwash berkata;
Telah menceritakan kepadaku Bapakku bahwa dia melaksanakan haji wada' bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bertahmid dan memuji Allah, beliau memberi pengingatan dan nasehat. Beliau menuturkan cerita dalam haditsnya, lantas bersabda: "Ketahuilah, berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka." (H.R. At-Tirmidzi) 
Dalam hadis tersebut disebut beberapa hal:

  • Berbuat baiklah terhadap wanita (istri). Kebaikan suami pada istrinya tentunya adalah termasuk dalam memenuhi hasrat istri
  • Tentang 'janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya', maksudnya seorang suami jangan menyusahkan istrinya yang sudah taat kepadanya. Salah satu kesusahan istri adalah hasratnya yang belum tertunaikan.
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa berbuat baik pada istri adalah perbuatan yang utama, termasuk di dalamnya memenuhi kebutuhan batin sang istri.


Perbandingan kewajiban suami & istri dalam memenuhi hasrat pasangannya:

Secara ringkas, seorang istri memenuhi keinginan suaminya sebagai seorang pengikut yang taat kepada suaminya, sedangkan seorang suami memenuhi keperluan istrinya adalah dalam posisi sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berkasih sayang.

Seorang istri dalam memenuhi hasrat suami, pertimbangannya relatif sederhana:
  • ketaatannya pada Allah terutama fardhu 'ain
  • ketaatannya pada suami
Jadi selama tidak bertentangan dengan perkara fardhu 'ain, seorang istri langsung menunaikan kewajibannya tersebut.

Sedangkan seorang suami dalam memenuhi hasrat istrinya, pertimbangannya lebih banyak:
  • ketaatannya pada Allah terutama fardhu 'ain
  • posisi sebagai pemimpin & pendidik keluarga
  • kewajibannya terhadap masyarakat terutama fardhu kifayah
Jadi dengan demikian seorang suami tidak dapat serta-merta memenuhi hasrat istrinya, karena ada pertimbangan lain. Misalkan sang suami ada kewajiban di luar rumah yang mendesak dalam perkara fardhu kifayah, sehingga tidak dapat segera mengurus istrinya. Dapat juga terjadi istri perlu dididik dengan didiamkan dulu sementara jika ada masalah syariat yang perlu diselesaikan dengan cara didiamkan.

Ringkasan

  • Bagi istri: wajib segera memenuhi kebutuhan fitrah suaminya.
  • Bagi suami: dalam kondisi ringan, yang terbaik bagi suami adalah untuk segera memenuhi kebutuhan fitrah istrinya tersebut.

Jumat, Januari 04, 2013

Benarkan anda menyayangi putri anda?

Bagaimana telinga anda, ketika mendengar berita tentang pemerkosaan? Pelecehan seksual terhadap wanita? Seperti yang pernah kita ketahui, tentang pemerkosaan di dalam angkot, bis atau taxi. Bagaimana kalau hal bejat tersebut terjadi pada saudara kita? Anak atau adik perempuan kita? Semoga Allah, SWT melindungi keluarga kita dari hal-hal tercela tersebut, amin.

Tentu tidak diragukan lagi, kalau kita sebagai orang tua, sayang kepada anak-anak kita. Kita tidak ingin anak perempuan kita menjadi korban perilaku setan seorang laki-laki. Dengan begitu kasarnya  kita berucap kepada sang pelaku pelecehan tersebut, geram, menyumpahi, menghardik, atau terucap "sudah bunuh saja". Tetapi, pernahkah anda juga melihat dari sisi korban? Bagaimana perilakunya? Penampilannya? Apakah ia telah menutup aurat? Apakah ia telah menjauhi dari perilaku zina? Karena bagi seorang wanita, tidak hanya menjaga diri sendiri untuk menjauhi zina, tetapi juga menjaga bagaimana orang lain tidak berzina karena dia.


Mari kita renungi bersama, apa yang sudah kita lakukan untuk buah hati tercinta kita, untuk bidadari kita :

1. Membekali pengetahuan/ilmu agama, baik teori maupun ajakan atau perintah. Misalnya : shalat, membaca Al Quran, berpuasa, zakat dan lainnya. Mengajarkan keislaman secara terus-menerus dan selalu menyempurnakannya;

2. Menjadi panutan atau teladan yang baik bagi anak. Mencontohkan shalat tepat waktu, membaca Al Quran secara rutin, bersedekah, berbicara dan berperilaku yang baik;

3. Memerintahkan kepada anak agar selalu menutup aurat dengan syariat. Dimanapun atau dengan siapapun. Berhijab, tidak ketat, panjang dan tidak begitu menarik perhatian (warna/model/wewangian);

4. Menuntun anak untuk memilih teman dan lingkungan yang baik. Berteman dengan orang yang berakhlak baik atau tetap menjaga hubungan yang sesuai tuntunan agama. Menempatkannya pada lingkungan yang baik, misalnya sekolah, tempat kursus, bertetangga, dan lain-lain;

5. Memberikan pengertian dan pembatasan kepada anak akan bahaya penyedia informasi dan alat alat komunikasi. Seperti internet (termasuk jejaring sosial), televisi dan handphone. Arahkan ke hal-hal yang positif, misalnya internet dapat digunakan untuk mencari informasi tentang ilmu agama, pelajaran sekolah, dan lain-lain. Handphone lebih utama sebagai alat komunikasi, tidak berlebihan, seperti untuk media pacaran, gosip, dan lainnya;

6. Menghindari dan menjaga anak untuk tidak berada di tempat yang sepi. Misalkan pulang terlalu malam, di dalam angkot sendirian dan berjalan di tempat yang sepi;

7. Mengajarkan tentang bagaimana islam melarang pacaran dan mensegerakan menikahkannya, apabila telah ada jodohnya.
Sungguh, apa yang sudah kita lakukan untuk bidadari kita, tidak hanya baik untuknya, tetapi baik juga bagi orang tuanya, sampai ke akhirat kelak.    

Kamis, Januari 03, 2013


Tanggal 16 Desember 2012, takdir dan kuasa Allah, SWT dijalankan. Awalnya tidak percaya mendengar berita bapak mertuaku telah meninggal dunia. Setelah mendengar kabar langsung dari keluarga di tempat kediamannya, baru aku yakini kebenarannya.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Engkau telah memanggil ayahanda kami. Dengan tenang dan lancar dia menghadapmu, melaporkan dan mempertanggung jawabkan kinerja dunianya. Sungguh kami semakin yakin, kalau apapun yang Kau kehendaki, maka tidak satupun yang dapat menghalaunya, termasuk ajal. Karena ajal menjemput ayahanda dengan mendadak dan tidak disangka-sangka. Ini telah menjadi jalan takdir-Mu yang Kau hembuskan ke semua makhluk ciptaan-Mu.

Lalu, saya berfikir, untuk melakukan sesuatu untuk beliau, almarhum. Jelas bukan sesuatu yang bersifat duniawi. Kami ingin mengasihinya, walau beliau telah wafat. Sesuatu yang sesuai menurut syariat. Karena terkadang apa yang biasa kita lakukan belum tentu ada ajarannya, hanya dilakukan secara turun-temurun dan  kebiasaan saja.

Mungkin copas dari link muslim.or.id dapat bermanfaat, khususnya untuk mereka yang telah tiada.

Berikut adalah amalan-amalan utama yang bermanfaat bagi si mayit :

Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.

Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.  Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris.

Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
Tunaikanlah nadzar ibumu.”

Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua. Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَرضى الله عنهتُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”




Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf  mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-
Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. 
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”

Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”

Sempurnakanlah terus keislamanmu. Lakukan semua hanya untuk mencari ridhonya Allah, SWT. Buktikan kalau kita sayang mereka, keluarga kita, orang tua kita, saudara kita, sesama muslim. Mereka mananti dan mengharapkan doa dan amalan kita untuk kebahagiaan mereka di alam baka.