Tanggal 16 Desember 2012, takdir dan kuasa Allah, SWT dijalankan. Awalnya tidak percaya mendengar berita bapak mertuaku telah meninggal dunia. Setelah mendengar kabar langsung dari keluarga di tempat kediamannya, baru aku yakini kebenarannya.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Engkau telah memanggil ayahanda kami. Dengan tenang dan lancar dia menghadapmu, melaporkan dan mempertanggung jawabkan kinerja dunianya. Sungguh kami semakin yakin, kalau apapun yang Kau kehendaki, maka tidak satupun yang dapat menghalaunya, termasuk ajal. Karena ajal menjemput ayahanda dengan mendadak dan tidak disangka-sangka. Ini telah menjadi jalan takdir-Mu yang Kau hembuskan ke semua makhluk ciptaan-Mu.
Lalu, saya berfikir, untuk melakukan sesuatu untuk beliau, almarhum. Jelas bukan sesuatu yang bersifat duniawi. Kami ingin mengasihinya, walau beliau telah wafat. Sesuatu yang sesuai menurut syariat. Karena terkadang apa yang biasa kita lakukan belum tentu ada ajarannya, hanya dilakukan secara turun-temurun dan kebiasaan saja.
Mungkin copas dari link
muslim.or.id dapat bermanfaat, khususnya untuk mereka yang telah tiada.
Berikut adalah amalan-amalan utama yang bermanfaat bagi si mayit :
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat
bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini
menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang
yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena
ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah
meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam
ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan
orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu
setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat
saling mendoakan.”
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan
mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya.
Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan
berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.” Do’a kepada saudara kita yang sudah
meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak
mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah
orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia
bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian
shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan,
beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih
pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang
mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya.
Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli
warisnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan
utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah
tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama
mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal.
Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang
berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi
si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang
dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang
nanti akan mempuasakannya. ” Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah
ahli waris.
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan
lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya
ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum
ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah
nadzar ibumu.”
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih
akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang
sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya
yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri.
Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” Ini berarti amalan dari anaknya yang
sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang
lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka
nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini.
Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari
kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i
atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama.
Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’
dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya
padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun
sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat)
dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1]
sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang
mendo’akan orang tuanya.”
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan
kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari
Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat
itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,
‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku
sedekahkan untuknya’.”
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana
dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah
lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum
muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya
sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara
adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa
saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk
dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman
dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara
yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu
di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah
hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir
dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang
masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang
lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari
sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang
mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua
orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah
ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan
tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan
utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu
pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala
ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah
badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah
pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.
Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka
ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk
ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama
salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan
mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang
istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan
amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap
orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih
utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian
penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-
Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun
maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan
mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan
ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi
tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau
acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang
karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya
keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka
saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot
menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang
mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an
dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh
keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika
manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan
dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan
mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya.
Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar
salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun
ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan
berpengaruh padanya.”
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit
membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang
disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca:
bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami
menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit
membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah
orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya).
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian
Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Berilah
makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan
kematian Ja’far.”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al
Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah
melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan
kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi
nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini
dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan
istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat
yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya,
ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para
sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah
melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah
bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di
medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun
mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam
(berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid
tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal
semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak
melakukan ma’tam.”
S
empurnakanlah terus keislamanmu. Lakukan semua hanya untuk mencari ridhonya Allah, SWT. Buktikan kalau kita sayang mereka, keluarga kita, orang tua kita, saudara kita, sesama muslim. Mereka mananti dan mengharapkan doa dan amalan kita untuk kebahagiaan mereka di alam baka.